Belajar Memberi

Teringat kembali ke masa lalu ditahun 2010, ketika pertama kali saya dan kawan-kawan menginjak bumi Kinanah, pada waktu itu kami dijemput oleh BPH (Badan Pengurus Harian) KMA (Keluarga Mahasiswa Aceh) dan beberapa pengurus lain nya, tidak tahu alasan kenapa mereka mau menjemput kami, entah karena mereka sayang sama kami atau karena memang itu sudah menjadi tugas mereka yang pastinya karena kami berasal dari daerah Aceh, daerah nenek moyang mereka. Rasanya sangat gak munkin mereka mau menjemput orang dari suku Karoai. Akhirnya jawaban di balik semua itu saya ketahui setelah menjadi salah satu dari jajaran pengurus di KMA, bukanlah setiap kegiatan atau aktivitas yang pengurus buat itu sebagai modus pencitraan berharap pujian dan ciuman di kening dari orang-orang di masa mereka menjabat. Akan tetapi tujuan mereka adalah menggabungkan antara budaya orang aceh yang memuliakan tamu dengan ajaran Islam yang menjadikan silaturrahmi sebagai kunci panjang umur.

Setelah beberapa hari menetap di bumi kinanah ini, kami mahasiswa baru mendapat bimbingan tentang kemesiran dan juga pelatihan jurnalistik, bukanlah KMA namanya kalau acaranya tidak terpenuhi dengan makan-makan.  Melihat apa yang pengurus berikan, malu rasanya kalau kita harus berpaling saat mereka membutuhkan bantuan, seperti, turun tangan dalam kepanitiaan, menjadi narasumber dalam sebuah kajian atau acara dan saling mendukung dalam proses berjalannya kegiatan pengurus, karena itu merupakan beban sosial yang sudah kita pikul mulai detik pertama kita memasuki pintu Meuligoe itu.
Rasanya kalau begini bukanlah gayanya orang Aceh…

Pada hakikatnya struktur pengurus di KMA bagaikan struktur Tuha Peut dan Tuha Lapan yang ada di dalam struktur masyarakat kampong  di Aceh. Menjadi salah satu dari orang-orang yang bergerak sebagai organ dalam tubuh  KMA sangat membantu kita ketika kembali ke Aceh kelak, sekurang-kurangnya kita tahu bagaimana bersikap formal di saat ada perkara yang formal dan tidak memformalkan masalah yang seharusnya di bicarakan secara kekeluargaan.

Berbekal dari melihat dan belajar dari KMA kita bisa mengambil banyak mamfaat untuk diri kita dan perkembangan kita kedepan ketika berada di tanah air di masa mendatang. Saat ini status kita sebagai mahasiswa perantau di negeri orang, bagi mereka yang berada di tanah air posisi kita adalah sebagai duta, akan tetapi ketika kita kembali kapada mereka kita malah menjadi duta negeri perantauan kita. Mari kita belajar banyak dari komunitas kecil KMA agar kelak di Aceh kita bisa bertindak dengan wajar dalam masyarakat tanpa harus mengangkat pistol ataupun busur sebagai juru bicara.

Berbicara tentang  memberi pengaruh atau membuat sebuah perubahan di masyarakat, awalnya kita harus membiasakan diri dengan berbuat sesuatu yang kecil walau itu sebuah sandiwara.  Anggap saja saat ini kita sedang melakukan sebuah atraksi di panggung sandiwara, KMA sebagai panggungnya dan seluruh anggota adalah para penonton. Seperti biasa sebuah acara itu tidak terlepas dari seleksi donatur terhadap siapa yang pantas untuk unjuk diri, sudah pasti yang paling bagus perannya dialah yang paling sukses.

Pada saat kita kembali ke Aceh dan mulai berbaur dengan masyarakat kemudian merasa diri paling pantas jadi pemeran utama dalam memimpin sesuatu acara yang sangat sakral, seperti mengetuai sebuah majlis perkumpulan untuk mencari sebuah solusi akan masalah yang sedang masyarakat hadapi, tapi apa yang terjadi malah sebaliknya, kita membuat masalah jadi lebih rumit karena tidak pernah jadi pelakon saat bersandirawa di masa hidup dalam perantauan, atau di sebuah komunitas sehingga kita tidak bisa menilai siapa diri kita, sejauh mana kita harus berbuat dan tindakan apa yang pantas diambil saat terjadi masalah seperti ini. Jika solusi yang di cari sedang kan yang didapat malah permasalahan baru, bisakah kita berkata kepercayaan masyarakat akan berpihak kepada kita, sudah pasti sebaliknya kita akan jadi pengangguran di masyarakat yang awal nya berharap jadi pembaharu sedangkan kenyataannya sebagai perusak.

Di dalam tubuh KMA kita sering menaruh kepercayan besar kepada mereka yang lebih tua karena kita anggap lebih berpengalaman, sedangkan dikampung tidak cukup hanya dengan mengandalkan umur sebagai bukti  bahwa kita berpengalaman, tapi kebijaksaan ataupun ilmu yang menjadi tolak ukur penilaian masyarakat.

Mari memulai membangun sebuah kepercayan masyarakat dengan menjadikan KMA sebagai batu loncatan tempat kita belajar bermasyarakat. KMA yang manyoritas penduduknya adalah kawan dekat yang sudah pasti percaya kepada kita sedangkan untuk mendapat simpati mereka kita harus mengubah kepercayan itu menjadi kekaguman. Ketika kita turun ke masyarakat, cuma minoritas dari mereka yang mengenal kita dan mengerti bagaimana kita, kalaulah tidak kita pupuk pribadi dengan pengalaman maka pastinya kita akan gagal dalam membangun sebuah masyarakat yang baik nantinya.

Mari kita pererat ukhwah, saling belajar, terus menasehati agar nantinya di masyarakat bisa menjadi SDM yang baik, tidak menjadi benalu yang hari-harinya penuh dengan murka dan perkataan yang buruk dari masyarkat terhadap kita. mamfaatkan masyarakat kecil KMA untuk belajar jadi pemimpin atau orang yang bertanggung jawab sehingga tidak bakhil dalam berbuat.

“Cara terbaik menemukan dirimu adalah dengan meleburkan diri dalam pelayanan orang lain.” Begitulah kira-kira cuplikan dari kata sang fuhrer Adolf Hitler.

Bukan kah mengambil sedikit pelajaran lebih baik dari pada tidak sama sekali…?

Waallahu a’lam.

Screen Shot: Anak Membagi eskrim