Google image |
“alief maafkan aku,
ibuku telah menerima lamaran si Ronald dan pernikahan kami akan dilaksanakan bulan
september nanti”. Begitulah
bunyi sms yang aku terima dari Tata.
Nama lengkapnya adalah Tata synthia putri sulung dari pak
mamduh dan ibuk cut rosniati, teman bermainku waktu kecil hingga kami berumur
12 tahun, kemudian dia pindah ke kota karena tuntutan pekerjaan bapaknya.
Setelah 6 tahun berpisah akhirnya kami berjumpa lagi di kairo, kami sama-sama masuk
universitas Al Azhar As-Syarief. Pertemuan tak terduga ketika ujian seleksi
yang di adakan oleh departemen agama membuat virus merah jambu menyerang setiap
software dalam hatiku.
Entah berapa puluh kali sms itu sudah aku baca sejak masuk ke hp-ku dua hari yang lalu, aku merasa
sedang berada dilabirin tak berujung yang membuat pikiranku buntu, apapun
terasa malas untuk aku lakukan, belajar yang seharusnya jadi kewajibanku
sebagai mahasiswa menjadi terasa sangat berat dilakukan, seolah setiap lembaran
buku berubah menjadi lapisan bumi yang tidak mungkin untuk diangkat. Tanganku
yang biasa ringan memasak buat sarapan pagi kini menjadi enggan, setiap
aktifitasku terhenti hanya karena sebuah sms, tepatnya bukan karena sms tapi
karena isi dari sms tersebut yang membuat siapa saja yang menerimanya akan
merasa sedang terjadi letusan gunung berapi Pompeii ataupun meteor yang sedang
menabrak bumi.
“alief…! kamu itu punya solusi dari masalah ini hanya saja
kamu tidak mau berpikir, selama ini selalu ada solusi yang kamu berikan kepada
orang lain, kalau memang kepalamu gak bisa di pakai waktu kamu butuh mending
benturkan saja di dinding closed sana, siapa tau keluar ide cemerlangmu itu…” ucap farid kesal.
Aku mengerti kenapa kawanku satu itu sampai berkata demikian,
maklum saja sejak sms itu kuterima aku bagaikan zombie yang hanya guling-guling
ditempat tidur, emosi dia sudah mencapai
derajat ke-seratus bagaimana tidak setiap omelannya hanya kutanggapi
dengan kata “iya fariid”, tapi kali ini aku memilih diam dan mulai berpikir
mencari solusi serta me-restart kembali kegiatanku. Aku memilih membalas pesan
singkat dari Tata berharap bisa berjumpa serta berbicara empat.
“tata… kapan kita bisa jumpa..?” ku tekan tombol sent berharap
dimensi waktu mengirimnya degan kecepatan cahaya.
Dehhht… Dehhht…Dehhht… terdengar getar hpku yang dari sejam
lalu aku pelototin menunggu balasan dari Tata.
“bagaimana kalau hari sabtu setelah shalat asar di hadiqah
dauliyah, karena kalau hari lain kawan ana si hafni gak bisa nemanin…?”
“oke… insyaallah ana tunggu hari minggu habis shalat ashar di hadiqah daulyah.” Balasku.
Aku mengitari pandangan ku kesetiap sudut yang bisa aku
jangkau, berharap sosok Tata sudah muncul walau masih jam 03:00pm sedangkan
ashar setengah jam lagi. Aku sengaja datang lebih cepat tiga puluh menit karena
tidak mau hanya karena keterlambatan harapan cintaku hilang selamanya.
Harapanku akan kedatangan tata lebih cepat tidaklah sa-sia, tapi dia sengaja
tidak menyapa karena memang janji kami habis ashar, aku juga bersikap cuek agar
adegan air mata kami tersimpan hingga nanti habis ashar.
“alief… kamu mau ngomong apa ajak kita jumpa…?” tata memulai pembicaran.
“ta… kamu sudah tau kan jawabannya, aku ajak kesini mau mastiin sms kamu
kemarin, itu serius ta..?” jawabku balik bertanya.
“alief… sms itu serius dan ana gak pernah bercanda masalah ini, bisa apa
ana, bantah ortu…? Ana gak bisa menolak permintaan mereka kali ini, mereka
ingin ana cepat nikah.”
“tapi ta… bagaimana dengan perasaan kita, apa kamu bahagia dengan dia sedangkan
kamu tidak mencintainya…?”
“alief… munkin kita harus melupakan kisah kita dan mengubur rasa cinta haram
kita itu, coba pandang dirimu..! bahkan kuliah aja belum selesai, umur kita
juga sebaya lief..!”
“kan ntik insyaallah bulan agustus kuliah ana juga dah selesai …!”
“alief… ana juga sedih, ana sayang dan cinta ma dirimu, tapi cinta kita itu
akan tergantikan dengan cinta pasangan kita lief, cinta kita kepada mereka
karena Allah jadi gak ada alasan gak bahagia sebab Allah pemberi bahagia,
lagian ana rasa si Ronald juga anak yang yang shaleh,rajin ibadah, agamanya
juga bagus walau dia bukan lulusan sekolah agama dan aku yakin dengan pilihan
orang tuaku dan insyaallah aku akan bahagia, Alief… kita juga lahir di masa
yang sama jadi kita perlu kepada yang lebih berpengalaman dari kita, kita sama-sama
move on ya…”
“insyaallah… ana ngerti … semoga tata bahagia nantinya… amien…” “oe ya ta…
usahakan jangan hubungi ana lewat mana pun ya hingga hari akad-nikah, agar hati
kita bisa tenang karena kita sudah sama-sama memutuskan untuk menutup hati dan
focus belajar, ana mau lulus tahun ni...” Aku mengakhiri pertemuan itu
dengan menahan air mata agar tidak tumpah. Aku tahu dia juga demikian tampak
dari dua bola matanya yang mulai basah.
“ta… kalau begitu ana pamit dulu… Assalamu’alaikum..”.
Aku berlalu tanpa menunggu jawaban salam darinya, aku gak tau
kenapa saat itu merasa sangat muak melihatnya, walau dalam hati sangat mencintainya
tapi kenyataan yang membuatku harus bersikap demikian agar syaithan tidak
menjadikan celah dalam saluran hatiku sebagai jalan untuk menjerumuskanku
kepada kemaksiatan. Di sudut lain kota
kairo seorang gadis juga sedang melawan hatinya, melawan naluri nafsu cintanya
demi menjalankan cinta yang diridhai Agama, mencintai karena Allah dan mematuhi
perintah ibu bapak.
Kini genap sudah seminggu masa berkabungku, aku harus ,mengubah
niat belajarku dari mengejar cinta kepada mengejar cita dan air mata bahagia
kedua orangtua ku, biarkan kisah cintaku gagal asal tidak cita-citaku, biarlah
airmata kesedihanku menganak sungai asal akan berbuah airmata kebanggaan kedua
orangtuaku. Kini aku putuskan untuk move on dari perasaan menuju tindakan. Aku
selalu menjadikan note dibawah ini sebagai pengingat agar bisa mengontrol sepak
terjang processor tubuhku dan berharap cinta yang akan datang bukanlah cinta
salah sehingga tidak perlu terjadinya adegan air mata.
“belajarlah mencintai untuk melepaskan, bukan untuk memiliki,
mencintai yang dimiliki, hidup itu lebih luas dari hanya sekedar di isi oleh
cinta, sekeping hati itu itu lebih luas dari galaxy manapun sehingga sangat
rugi jika hanya engkau isi dengan cinta.”