Akhwat Primadona 5, Cinta Tak akan kemana..

Google image



Setelah satu tahun menikah, aku karuniai seorang anak laki-laki yang lucu plus imut.

"Abati...! " Panggil istriku.

"Tuan bunda sayang..." Jawabku dengan tata krama Aceh.

"Boleh gak bunda menceritakan sesuatu, mau kan mendengarnya...?" Tanya istriku.

"Suami mana yang gak mau mendengarkan istri yang baik lagi cantik sepertimu sayang..." Jawabku gombal.

Aku hanya bisa tertawa kecil saat melihat pipi istriku merona merah.


"Bati... Pernah ada seorang wanita, dia cantik, sholehah, baik, hafal Alqur'an, dan berpendikan tinggi." istriku melanjutkan. sesaat kemudian kulihatnya diam.
"Bunda... Lanjut ceritamu sayang... " Kataku.
"Wanita itu sudah berumur 28, seumuran dengan abati sekarang, tapi dia belum menikah abati..." Lanjut istriku
."Bunda... Apa dia terlalu selektif dalam menerima calon suami, atau dia malah tidak secantik yang bunda ceritain tadi...?" tanyaku bingung.
"Bukan abati sayang... Dia hanya mencintai satu orang, dia sedang menunggu takdir Allah, dia sedang menunggu pujaan hatinya, hanya saja pujaan hatinya telah pergi jauh, dan ntah kapan akan kembali menjemput dia, yang dia tau pujaan hatinya sang musafir, musafir yang pergi tidak akan kembali..." Jawab istriku dengan sedikit puitis.
"Sayang... Mata bunda dah merah tu, kita lanjutkan besok aja ceritanya ya, ntar siapa yang mau rawat sikecil kita kalau bundanya sakit...?" Rayuku.
"Iya abati yang baik dan perhatian..." Balas istriku.
Ku mencoba mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut istriku tadi, berusaha mencari titik terang akan Akan cerita yang dia coba dongengkan tadi, kami sudah hidup berkeluarga selama setahun lebih, tapi dia belum pernah mengeluarkan kata-kata yang berat seperti ini, walau dia buat terasa ringan dengan senyum yang menghiasi bibirnya, aku kenal istriku, apakah gerangan yang istriku ingin sampaikan, kupejam mataku mencoba mengakhiri akan analisa gundah yang aku rasakan.

Seperti biasanya dipagi hari aku mengajar di sebuah pesantren, siang dan malamnya aku habiskan bersama keluarga kecilku.
Malam ini aku rasakan seolah menunggu hasil ujianku, penuh dengan harap dan dihiasi sedikit cemas.

Aku mencium kening istriku tanda cinta dan kasih sayangku padanya.

"Bunda... Bagaimana perkembangan si kecil kita hari ni sayang...?" Tanyaku memulai pembicaraan.

"Alhamdulillah hari ini dia sudah bisa manggil mama, bukan bunda...". Jawab istriku sedikit memonyongkan mulutnya tanda tidak setuju dengan panggilan si kecilku. Aku hanya tersenyum, mengingat istriku  saat dia hamil 3 bulan pernah menanyakan padaku akan panggilan anak kepada kami.

"Abang... waktu baby kita dah lahi abang mau di panggilin apa..?" tanya istriku.

"Abang ingin di panggil abati nantinya sama anak kita... Kalau dirimu sayang...?". Ujarku 

"Adek ingin di panggil bunda, lebih terasa awet muda, dan gak ketinggalan zaman, gak apa kan yank...?". Jawab istriku manja.

"Iya sayangku...". Jawabku.

Aku tidak pernah melarang setiap keinginan istriku selama itu tidak melanggar hukum Allah.

"Bunda... Kan anak kita masih kecil, apalagi baru kata pertama yang dia ucapkan, ntar kita biasakan dia manggil bunda..." Aku mencoba menghibur istriku.
"Iya abati cerewet...".jawab istriku.

Lagi-lagi sikap manja istriku membuatku gemezz ingin rasanya ku gigit-gigit pipi chibinya itu...hehehe

"Abati...! Lanjutan cerita semalam kita lanjutin di kesempatan lain ya, bunda mau mesraan sama abati dulu, boleh kan sayaang...?" Tanya istriku dengan sedikit expresi nakal
Aku setujui permintaannya dengan menjadikan lenganku pengganti bantalnya.

Hari-hari terus berganti, bulan terus menyinari dimalam hari, kebahagiaan selalu terpancar di keluarga kecilku tambah lagi sekarang si kecilku yang bernama Hassan sudah bisa berlari-lari walau dua telapak mungilnya masih belum kuat menahan beban tubuhnya yang membuat sesekali dia terjatuh.
Allah selalu memberikan pada keluargaku kebahagiaan, genap sudah dua tahun aku menikah, Alhamdulillah tidak pernah sekalipun kami merasa kekurangan, dan sekarang kabar gembira datang lagi, istriku sedang mengandung anakku yang ke dua, aku berharap dia seorang anak perempuan, karena umur kandungannya masih 1 bulan, Insyaallah do'a dan harapanku Akan Allah kabulkan, karena hanya do'a yang bisa mengubah segala-galanya.
Aku berdo'a kepada Allah agar selalu dijadikan hambanya yang bersyukur atas segala nikmat yang diberikan.
Saat umur kandungan istriku memasuki bulan ke 7, aku meminta dia agar duduk dirumah saja, dan segala keperluannya biar aku yang persiapkan, tambah lagi rumah mertuaku juga berjarak 500 meter dari rumah kami.Istriku menurut setiap permintaanku, karena aku selalu mendengar Dan menuruti setiap permintaan dia.
Subuh tadi anak pertamaku Hassan sudah menjadi abang, kini dia memiliki seorang adik perempuan yang sangat-sangat cantik dan comel.

"Alhamdulillah..." Aku bertahmid.
"Makasieh bunda ya atas hadiah paling berharga ini, kini engkau tidak sendiri lagi dirumah kita, engkau sudah memiliki sahabat kecil perempuan..." Kataku.

"Makasih juga abati, telah menjaga bunda dengan penuh kasih sayang, bunda tidak pernah sedetikpun merasa kesepian karena engkau selalu ada untukku suamiku..." Jawab istriku terharu.

Lengkap sudah kebahagian dikeluarga kecilku dengan kehadiran seorang mujahid dan seorang mujahidah Islam.
Pada suatu sore di hari Sabtu istriku berkata :
"Abati sore ini anak-anak kita titip dirumah nenek aja ya...?" Kata istriku.
"Kenapa bunda...?" tanyaku kebingungan.
"Bunda mau ajak minta abati jalan-jalan, abati mau kan kita malming (malam mingu) hari ini...?" Pinta istriku.
"Abati selalu siap buat bunda kok..." Jawabku sedikit gombal.
Aku pergi kepelabuhan Ulee Lheu, disana terlihat romantis bisa melihat langit lepas tanpa anda halangan pepohonan.
Aku memesan dua jagung bakar serta dua botol teh Sosro. Sejenak berdiam duduk berpegangan tangan bersama istriku, istriku menyenderkan kepalanya di bahuku.
Samar-samar kudengar dia berucap lirih, :
"Abati... Bunda bahagia sekali bersama abati, abati selalu baik sama bunda, selalu mencintai bunda..." ungkap istriku.

"Bunda kenapa nangis...?" tanyaku.

"Bunda terharu abati...?" jawab istriku.
"Sayang... Malam ini bunda mau melanjutkan cerita kita yang tertunda setahun yang lalu, maafin bunda ya, ceritanya baru bisa bunda lanjutin sekarang...!" Jawab istriku.
"Abati... Perempuan yang bunda ceritain itu sekarang sudah berumur 29 lebih, dan dia masih menunggu sang musafirnya pulang menjemput dia dan membawanya bersama..." lanjut istriku.

Kini dengan terisak dia melanjutkan ceritanya.

"Apakah abati mau menolong perempuan itu membawa kembali musafirnya...?" tanya istriku dengan isak tangis dalam pelukanku.

"Abati tidak mengerti maksud dari cerita bunda...!" jawabku panik.

Melihat istriku terisak aku mengajak dia pulang dan memintanya untuk melanjutkan ceritanya dirumah.
"Bunda biarkan anak-anak dirumah nenek malam ni ya..." Kataku.

Aku merebahkan tubuhku menenangkan pikiran sejenak menunggu lanjutan cerita dari istriku.

"Dua tahun lalu bunda buka blog abati, bunda baca semua tulisan abati, bunda liat ada komentar disana, kata abati itu kisah nyata. Jadi bunda mencari tau siapa gadis di cerpen abati itu, ternyata benar adanya, Nama gadis itu Tata Syntia, apa abati masih ingat...?" tanya istriku disela-sela lanjutan ceritanya.
Aku tidak menyangka dia akan menanyakan hal ini. Aku hanya mengiyakan karena tidak mau ada kebohongan diantara kami.

"Abati tau tidak kalau kak Zahra sudah memiliki 4 orang anak, sedangkan Tata masih sendiri dan belum nikah..." Lanjutnya.

"Munkin dia masih belum mau nikah, ingin berbakti dulu pada ibunya...!" jawabku singkat. 

" Bukan abati, tapi dia masih berharap jadi istri abati...". Lanjut istriku, kini tangisnya meledak.

"Sudah lah sayang, lupakan saja tentang dia, bunda jangan takut, abati gak akan menduakan bunda..." Jawabku berusaha menenangkan istriku.

"Tapi bunda mau abati menikahinya, bunda rela dipoligami jika dengan Tata..." Jawab istriku masih terisak.
Aku bagai disambar petir, rumah tanggaku yang selama ini tidak pernah ada cobaan, kini badai datang menyapa, gempa tektonik datang menggoyangkan, aku tidak tahu harus bagaimana.
"Bunda... Abati gak bisa adil kalau memiliki dua istri, kasih sayang abati yang hanya untukmu akan terbagi jika abati poligami..." Jawabku menghibur istriku.
"Bunda selalu yakin abati bisa adil, selama ini bunda selalu bahagia, selalu mendapat perlakuan baik, jadi bunda tidak mau menerima alasan abati yang tadi..." Sanggah istriku. " Dan abati jangan jadikan bunda sebagai alasan tidak mau menikahi tata, karean bunda sudah setuju..."
"Bunda... Apa kata mamak abati dan keluarga bunda nantinya jika mereka tau anak semata wayangnya di duakan...?" Aku mencoba membela diri.
" Abati...! Mamak dan ayah sudah menyetujuinya, bunda sudah menjelaskan panjang lebar kepada mereka, bagaimana jika keadaan seperti ini bunda yang alami...? Apa abati tega juga biarkan bunda tanpa suami hingga bunda tua...?" Istriku mematahkan setiap pembelaanku.
Kini hanya keluarga Tata satu-satunya harapan pembelaanku.
"Apakah ibunya Tata setuju anaknya jadi istri keduaku...?" Aku kembali mencari celah pembelaan diriku.
"Dia anak perempuan satu-satunya dikeluarganya, sedangkan saudaranya semua laki-laki, dan ibunya sudah menyerahkan pilihan suami pada dia, dan dia mengatakan memilih abati, ibunya setuju..." Lanjut istriku.

Akhwat primadonaku kini menjadi milikku, bukan miki hatiku saja akan tetapi milik setiap centi dari dia milikku, hatinya dan dandirinya. walau jalannya berliku, tidak mengapa asal aku bisa membahagiakannya dan tidak lupa juga akan kebahagiaan istri pertamaku.
Tata memintaku untuk membeli mobil aja, karena aku sudah memiliki dua orang istri termasuk dia, dia dan Liza istri pertamaku sepakat menyerahkan mahar mereka buat beli mobil. Aku tidak bisa menolak demi kebahagian kedua istriku dan juga demi berlaku adil bagi mereka.
Kini kedua anakku dari Liza sudah mempunyai guru tahfidh Alqur'an dan juga ibu mereka
."Benarkan kata bunda kalau abati bisa adil..? abati aja yang takut mencoba dulu..". Goda istri pertamaku dua tahun setelah Tata jadi istri keduaku.
"Alhamdulillah, berkat dirimu sayang, istri sholehah abati, kalian berdua bidadari abati didunia dan Akhirat InsyaAllah." Jawabku.
Suasana yang paling indah bersama kedua istriku ialah saat mereka berebutan membuat kopi untukku dipagi hari, tak jarang aku harus meminum dua cangkir sekaligus, bahkan ini selalu terulang hingga saat ini, walau akhirnya mereka tertawa melihat tingkahku yang selalu mau meminum dua cangkir kopi mereka.
" Terima kasih ya Allah atas anugerah ini..." ucapku dalam setiap do'aku.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »