Akhwat Primadona 5, Cinta Tak akan kemana..

Google image



Setelah satu tahun menikah, aku karuniai seorang anak laki-laki yang lucu plus imut.

"Abati...! " Panggil istriku.

"Tuan bunda sayang..." Jawabku dengan tata krama Aceh.

"Boleh gak bunda menceritakan sesuatu, mau kan mendengarnya...?" Tanya istriku.

"Suami mana yang gak mau mendengarkan istri yang baik lagi cantik sepertimu sayang..." Jawabku gombal.

Aku hanya bisa tertawa kecil saat melihat pipi istriku merona merah.


"Bati... Pernah ada seorang wanita, dia cantik, sholehah, baik, hafal Alqur'an, dan berpendikan tinggi." istriku melanjutkan. sesaat kemudian kulihatnya diam.
"Bunda... Lanjut ceritamu sayang... " Kataku.
"Wanita itu sudah berumur 28, seumuran dengan abati sekarang, tapi dia belum menikah abati..." Lanjut istriku
."Bunda... Apa dia terlalu selektif dalam menerima calon suami, atau dia malah tidak secantik yang bunda ceritain tadi...?" tanyaku bingung.
"Bukan abati sayang... Dia hanya mencintai satu orang, dia sedang menunggu takdir Allah, dia sedang menunggu pujaan hatinya, hanya saja pujaan hatinya telah pergi jauh, dan ntah kapan akan kembali menjemput dia, yang dia tau pujaan hatinya sang musafir, musafir yang pergi tidak akan kembali..." Jawab istriku dengan sedikit puitis.
"Sayang... Mata bunda dah merah tu, kita lanjutkan besok aja ceritanya ya, ntar siapa yang mau rawat sikecil kita kalau bundanya sakit...?" Rayuku.
"Iya abati yang baik dan perhatian..." Balas istriku.
Ku mencoba mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut istriku tadi, berusaha mencari titik terang akan Akan cerita yang dia coba dongengkan tadi, kami sudah hidup berkeluarga selama setahun lebih, tapi dia belum pernah mengeluarkan kata-kata yang berat seperti ini, walau dia buat terasa ringan dengan senyum yang menghiasi bibirnya, aku kenal istriku, apakah gerangan yang istriku ingin sampaikan, kupejam mataku mencoba mengakhiri akan analisa gundah yang aku rasakan.

Seperti biasanya dipagi hari aku mengajar di sebuah pesantren, siang dan malamnya aku habiskan bersama keluarga kecilku.
Malam ini aku rasakan seolah menunggu hasil ujianku, penuh dengan harap dan dihiasi sedikit cemas.

Aku mencium kening istriku tanda cinta dan kasih sayangku padanya.

"Bunda... Bagaimana perkembangan si kecil kita hari ni sayang...?" Tanyaku memulai pembicaraan.

"Alhamdulillah hari ini dia sudah bisa manggil mama, bukan bunda...". Jawab istriku sedikit memonyongkan mulutnya tanda tidak setuju dengan panggilan si kecilku. Aku hanya tersenyum, mengingat istriku  saat dia hamil 3 bulan pernah menanyakan padaku akan panggilan anak kepada kami.

"Abang... waktu baby kita dah lahi abang mau di panggilin apa..?" tanya istriku.

"Abang ingin di panggil abati nantinya sama anak kita... Kalau dirimu sayang...?". Ujarku 

"Adek ingin di panggil bunda, lebih terasa awet muda, dan gak ketinggalan zaman, gak apa kan yank...?". Jawab istriku manja.

"Iya sayangku...". Jawabku.

Aku tidak pernah melarang setiap keinginan istriku selama itu tidak melanggar hukum Allah.

"Bunda... Kan anak kita masih kecil, apalagi baru kata pertama yang dia ucapkan, ntar kita biasakan dia manggil bunda..." Aku mencoba menghibur istriku.
"Iya abati cerewet...".jawab istriku.

Lagi-lagi sikap manja istriku membuatku gemezz ingin rasanya ku gigit-gigit pipi chibinya itu...hehehe

"Abati...! Lanjutan cerita semalam kita lanjutin di kesempatan lain ya, bunda mau mesraan sama abati dulu, boleh kan sayaang...?" Tanya istriku dengan sedikit expresi nakal
Aku setujui permintaannya dengan menjadikan lenganku pengganti bantalnya.

Hari-hari terus berganti, bulan terus menyinari dimalam hari, kebahagiaan selalu terpancar di keluarga kecilku tambah lagi sekarang si kecilku yang bernama Hassan sudah bisa berlari-lari walau dua telapak mungilnya masih belum kuat menahan beban tubuhnya yang membuat sesekali dia terjatuh.
Allah selalu memberikan pada keluargaku kebahagiaan, genap sudah dua tahun aku menikah, Alhamdulillah tidak pernah sekalipun kami merasa kekurangan, dan sekarang kabar gembira datang lagi, istriku sedang mengandung anakku yang ke dua, aku berharap dia seorang anak perempuan, karena umur kandungannya masih 1 bulan, Insyaallah do'a dan harapanku Akan Allah kabulkan, karena hanya do'a yang bisa mengubah segala-galanya.
Aku berdo'a kepada Allah agar selalu dijadikan hambanya yang bersyukur atas segala nikmat yang diberikan.
Saat umur kandungan istriku memasuki bulan ke 7, aku meminta dia agar duduk dirumah saja, dan segala keperluannya biar aku yang persiapkan, tambah lagi rumah mertuaku juga berjarak 500 meter dari rumah kami.Istriku menurut setiap permintaanku, karena aku selalu mendengar Dan menuruti setiap permintaan dia.
Subuh tadi anak pertamaku Hassan sudah menjadi abang, kini dia memiliki seorang adik perempuan yang sangat-sangat cantik dan comel.

"Alhamdulillah..." Aku bertahmid.
"Makasieh bunda ya atas hadiah paling berharga ini, kini engkau tidak sendiri lagi dirumah kita, engkau sudah memiliki sahabat kecil perempuan..." Kataku.

"Makasih juga abati, telah menjaga bunda dengan penuh kasih sayang, bunda tidak pernah sedetikpun merasa kesepian karena engkau selalu ada untukku suamiku..." Jawab istriku terharu.

Lengkap sudah kebahagian dikeluarga kecilku dengan kehadiran seorang mujahid dan seorang mujahidah Islam.
Pada suatu sore di hari Sabtu istriku berkata :
"Abati sore ini anak-anak kita titip dirumah nenek aja ya...?" Kata istriku.
"Kenapa bunda...?" tanyaku kebingungan.
"Bunda mau ajak minta abati jalan-jalan, abati mau kan kita malming (malam mingu) hari ini...?" Pinta istriku.
"Abati selalu siap buat bunda kok..." Jawabku sedikit gombal.
Aku pergi kepelabuhan Ulee Lheu, disana terlihat romantis bisa melihat langit lepas tanpa anda halangan pepohonan.
Aku memesan dua jagung bakar serta dua botol teh Sosro. Sejenak berdiam duduk berpegangan tangan bersama istriku, istriku menyenderkan kepalanya di bahuku.
Samar-samar kudengar dia berucap lirih, :
"Abati... Bunda bahagia sekali bersama abati, abati selalu baik sama bunda, selalu mencintai bunda..." ungkap istriku.

"Bunda kenapa nangis...?" tanyaku.

"Bunda terharu abati...?" jawab istriku.
"Sayang... Malam ini bunda mau melanjutkan cerita kita yang tertunda setahun yang lalu, maafin bunda ya, ceritanya baru bisa bunda lanjutin sekarang...!" Jawab istriku.
"Abati... Perempuan yang bunda ceritain itu sekarang sudah berumur 29 lebih, dan dia masih menunggu sang musafirnya pulang menjemput dia dan membawanya bersama..." lanjut istriku.

Kini dengan terisak dia melanjutkan ceritanya.

"Apakah abati mau menolong perempuan itu membawa kembali musafirnya...?" tanya istriku dengan isak tangis dalam pelukanku.

"Abati tidak mengerti maksud dari cerita bunda...!" jawabku panik.

Melihat istriku terisak aku mengajak dia pulang dan memintanya untuk melanjutkan ceritanya dirumah.
"Bunda biarkan anak-anak dirumah nenek malam ni ya..." Kataku.

Aku merebahkan tubuhku menenangkan pikiran sejenak menunggu lanjutan cerita dari istriku.

"Dua tahun lalu bunda buka blog abati, bunda baca semua tulisan abati, bunda liat ada komentar disana, kata abati itu kisah nyata. Jadi bunda mencari tau siapa gadis di cerpen abati itu, ternyata benar adanya, Nama gadis itu Tata Syntia, apa abati masih ingat...?" tanya istriku disela-sela lanjutan ceritanya.
Aku tidak menyangka dia akan menanyakan hal ini. Aku hanya mengiyakan karena tidak mau ada kebohongan diantara kami.

"Abati tau tidak kalau kak Zahra sudah memiliki 4 orang anak, sedangkan Tata masih sendiri dan belum nikah..." Lanjutnya.

"Munkin dia masih belum mau nikah, ingin berbakti dulu pada ibunya...!" jawabku singkat. 

" Bukan abati, tapi dia masih berharap jadi istri abati...". Lanjut istriku, kini tangisnya meledak.

"Sudah lah sayang, lupakan saja tentang dia, bunda jangan takut, abati gak akan menduakan bunda..." Jawabku berusaha menenangkan istriku.

"Tapi bunda mau abati menikahinya, bunda rela dipoligami jika dengan Tata..." Jawab istriku masih terisak.
Aku bagai disambar petir, rumah tanggaku yang selama ini tidak pernah ada cobaan, kini badai datang menyapa, gempa tektonik datang menggoyangkan, aku tidak tahu harus bagaimana.
"Bunda... Abati gak bisa adil kalau memiliki dua istri, kasih sayang abati yang hanya untukmu akan terbagi jika abati poligami..." Jawabku menghibur istriku.
"Bunda selalu yakin abati bisa adil, selama ini bunda selalu bahagia, selalu mendapat perlakuan baik, jadi bunda tidak mau menerima alasan abati yang tadi..." Sanggah istriku. " Dan abati jangan jadikan bunda sebagai alasan tidak mau menikahi tata, karean bunda sudah setuju..."
"Bunda... Apa kata mamak abati dan keluarga bunda nantinya jika mereka tau anak semata wayangnya di duakan...?" Aku mencoba membela diri.
" Abati...! Mamak dan ayah sudah menyetujuinya, bunda sudah menjelaskan panjang lebar kepada mereka, bagaimana jika keadaan seperti ini bunda yang alami...? Apa abati tega juga biarkan bunda tanpa suami hingga bunda tua...?" Istriku mematahkan setiap pembelaanku.
Kini hanya keluarga Tata satu-satunya harapan pembelaanku.
"Apakah ibunya Tata setuju anaknya jadi istri keduaku...?" Aku kembali mencari celah pembelaan diriku.
"Dia anak perempuan satu-satunya dikeluarganya, sedangkan saudaranya semua laki-laki, dan ibunya sudah menyerahkan pilihan suami pada dia, dan dia mengatakan memilih abati, ibunya setuju..." Lanjut istriku.

Akhwat primadonaku kini menjadi milikku, bukan miki hatiku saja akan tetapi milik setiap centi dari dia milikku, hatinya dan dandirinya. walau jalannya berliku, tidak mengapa asal aku bisa membahagiakannya dan tidak lupa juga akan kebahagiaan istri pertamaku.
Tata memintaku untuk membeli mobil aja, karena aku sudah memiliki dua orang istri termasuk dia, dia dan Liza istri pertamaku sepakat menyerahkan mahar mereka buat beli mobil. Aku tidak bisa menolak demi kebahagian kedua istriku dan juga demi berlaku adil bagi mereka.
Kini kedua anakku dari Liza sudah mempunyai guru tahfidh Alqur'an dan juga ibu mereka
."Benarkan kata bunda kalau abati bisa adil..? abati aja yang takut mencoba dulu..". Goda istri pertamaku dua tahun setelah Tata jadi istri keduaku.
"Alhamdulillah, berkat dirimu sayang, istri sholehah abati, kalian berdua bidadari abati didunia dan Akhirat InsyaAllah." Jawabku.
Suasana yang paling indah bersama kedua istriku ialah saat mereka berebutan membuat kopi untukku dipagi hari, tak jarang aku harus meminum dua cangkir sekaligus, bahkan ini selalu terulang hingga saat ini, walau akhirnya mereka tertawa melihat tingkahku yang selalu mau meminum dua cangkir kopi mereka.
" Terima kasih ya Allah atas anugerah ini..." ucapku dalam setiap do'aku.

Akhwat Primadona 4, Akhir Dari Sebuah Asa

Google image



" Aliefurrahman dengan predikat jayyid jiddan... bagi yang bersangkutan silahkan maju ke depan untuk di wisuda...". Suara bapak moderator yang di ikuti tepuk tangan bergemuruh dari sahabat-sahabatku.

Aku maju kehadapan bapak Dubes dan para dosen favorit mahasiswa yang hadir, mereka mengucapkan selamat atas kelulusanku walau bukan dengan prediket terbaik.
Setelah mendapatkan ucapan selamat dan ijazah aku lansung menuju keluar hendak kembali ke kontrakan, aku tidak mau berlama-lama di ruang wisuda takut air mataku akan tumpah jika harus melihat Tata bersama seorang ikhwan yang tidak lain adalah sahabat karibku. Aku memutuskan untuk lansung pulang dan istirahat setelah seharian mengikuti acara wisuda.

Waktu ku dikairo tinggal menghitung hari, tiket pesawat sudah aku booking, hanya perlu sedikit berbelanja hadiah buat keluarga dan para sahabat di kampungku. Aku sempat kebingungan saat ingin membeli jilbab buat kakak ku, bagaimana kesukaannya, bentuk yang cocok, modelnya bagaimana, ingin rasanya menelpon Tata menanyakan sedikit tentang jilbab, dan meminta dia membantuku belanja. Tapi ku urungkan niatku, dia sudah bersama sahabatku, walau mereka belum tunangan atau bahkan mereka juga tidak pacaran, rasa cemburu pasti ada di hati sahabatku jika aku meminta Tata membelikan jilbab buat kakakku.
Hanya ada satu pilihan selain Tata, kakak tempat curhatnya Tata, aku meminta kakak itu membelikan beberapa helai selendang buat kakakku, kemudian memberitahu kalau aku akan pulang seminggu lagi dan meminta dia agar tidak memberitahukan Tata.

"kepada para penumpang diharapkan untuk memakai sabuk pengaman karena sebentar lagi kita akan take-off dari bandara Kairo ". Suara pramugari mengingatkan para penumpang.

Aku membaca do'a safar yang dulu pernah aku hafal di Pesantren Nurul Mujahidin dan memejamkan mata berharap perjalananku selamat sampai tujuan.

Saat sampai di bandara Sulthan Iskandar Muda kulihat segerombolan orang mendekatiku, ternyata mereka sahabat-sahabat ku yang seangkatan denganku di Pesantren Nurul Mujahidin. Seluruh keluargaku juga ikut datang menjemputku di bandara.
Aku pulang ke desa dimana aku dilahirkan, masih terasa kesejukan akan hawa pegunungan. Aku bersyukur masih bisa menghirup udara yang jauh dari berbagai polusi yang disebabkan oleh industri dan kendaraan bermotor.

Setahun sudah aku lalui hari-hariku di desa, jauh dari hiruk pikuk keramaian, aku bagai ditelan bumi tanpa ada kabar ke kawan-kawanku yang ada di Kairo.
Suatu hari, saat keluagaku sedang berkumpul setelah menikmati hidangan malam, ibuku berucap :

" Dek alief...! Kakak dan abang kamu tu dah pada punya momongan semua, kapan kamu pingin mengikuti jejak mereka...?". Tanya ibuku dengan tersenyum. " hehehe ".

Aku tertawa kecil. Ingin sekali rasanya tertawa terbahak-bahak akan pertanyaan ibuku saat ini. Aku masih berpikiran kanak-kanak walau umurku sudah memasuki kepala dua setengah alias 25 tahun, maklum aku kan anak bungsu.

" Nak alief... Kamu itu sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Umur ayah sudah lanjut, ayah juga berharap bisa menggendong cucu dari anak bungsu kesayangan ayah. Ayah mau Alief sudah mempersiapkan seorang gadis buat kita lamar...". Lanjut ayahku.

" Ayah... Alief belum ada calon, lagian kan alief baru 25 tahun, kerja juga masih belum tetap, masih ngajar-ngajar sana sini... ". Sanggah ku.

" Alief... Kamu itu penuntut ilmu agama, jadi menikahlah supaya orang bisa mencontoh dari kamu, agar mereka cepat nikah dan generasi Islam terselamatkan..." . Ayahku mencoba mengingatkan ku.

" Iya ayah, bulan depan Insyaallah ana sudah dapat calonnya, kalau memang belum ada calonnya, ayah yang nentuin aja, siapa saja pilihan ayah dan mamak Alief terima kok...". Lanjutku.

Ayah dan ibuku serempak bertahmid. " Alhamdulillah... ".

" Itu yang ayah harapkan dari anak ayah, dan jangan lupa nak, kalau mencari istri yang sepadan dengan kita ya, cari yang sederhana, dan murah senyum. Kita juga gak sanggup kalau maharnya tinggi, pilih yang maharnya tidak tinggi dan tidak rendah, Insyaallah akan perfect dan bahagia...". Ayahku kembali menasehatiku.
Masa sebulan yang aku janjikan dengan ibu dan ayahku berakhir.
" Dek alief... Kapan bisa kita lamar calon menantu ayah...? ". Ayahku bertanya suatu malam.
" Maafkan Alief yah, Alief belum menemukan jodoh, alief belum bisa memilih yah...! Ayah yang cariin aja buat alief ya...". Pintaku.
" Baiklah nak... Besok kita kerumah calon menantu pilihan ayah, pastikan kamu jam 9 pagi ada dirumah...". Lanjut ayahku.

" Insyaallah ayah...". Jawabku seraya mengangguk.

Esok harinya.

" Nak Alief ayoo berangkat...!". Ajak ayahku.

" iya ayah...". Lansung saja aku duduk di boncengan ayah.
Aku merasakan saat ini seperti masa kecil, duduk dibelakang ayah, diantarin kesekolah, pergi keacara pesta, moment yang sangat indah bersama ayah.
Tidak ada suara yang keluar dari mulut ayahku, suasana terasa hening beberapa saat.

" Ayah...! Kira-kira Alief diterima sama ayah cewek itu...? Dan cewek itu setuju nggak Alief jadi suaminya...? ". Aku bertanya pada ayahku menghentikan keheningan.

" Insyaallah semua beres... Serahkan pada Allah segalanya...". Ucap ayahku.

" Iya ayah...". Aku hanya pasrah.

" Alief...! Ayah yakin kamu akan terkejut siapa calon pilihan ayah, kamu sangat mengenal dia, orang tua dia juga sangat mengenalmu, ayah yakin kalian akan cocok...". Ujar ayahku.

Aku jadi kebingungan dengan kata-kata ayahku, aku hanya berharap pilihan ayah bukanlah seorang cewek yang gemuk, takut rasanya karena tubuhku kan kecil, mana sanggup aku gendong dia kalau ntar dia sakit.

" Sudah sampai Alief...". Kata ayahku.

Beliau memarkir sepeda motor pas di depan rumah yang aku kunjungi, betapa terkejutnya aku saat mengetahui ternyata ini adalah rumahnya ibuk Husna, ibuk guruku waktu di madrasah ibtidaiyah dulu. Memang sejak kecil aku sudah dekat dengan ibuk Husna karena mamak ku sering berkunjung kerumahnya, aku juga dekat dengan anaknya yang umurnya tiga tahun lebih muda dariku, kami sering bermain berdua saat Ibuk Husna mengajak dia kesekolah.

Kami di persilahkan masuk oleh ibuk husna. Aku hanya bisa senyum nyengir di depan beliau tidak tau harus berbicara apa.

" Ayahnya Liza kemana buk...?". Tanya ayahku.

" lagi ganti baju, sebentar lagi juga kesini...". Jawab ibuk husna.
Beberapa saat kemudian muncul lah ayahnya Liza. Ayahku dan ayah husna mengobrol panjang lebar seolah mereka sudah lama tidak jumpa.

" Jadi begini pak Hikmat, ibuk Husna dan istri saya kan sudah lama kenal, mereka pernah membicarakan masalah anak kita, masalah Liza dan Alief, apa ibuk Husna pernah membicarakan ini sama bapak...? " ayahku memulai inti pembicaran dan tujuan kedatangan nya hari ini.

" Kalau masalah itu saya dan ibunya Liza sangat setuju, Liza juga setuju dengan pilihan kami, sekarang terserah pada Alief, apakah dia mau menerima anak kami...?" jawab ayahnya liza.

" Lizaaa...! Kemarilah nak...". Ibuk Husna beranjak memanggil Liza.
Liza tampak anggun dan cantik sekali saat keluar mambawa nampan berisi cangkir minuman buat kami, kemudian dia kembali lagi kekamarnya.
" Bagaimana Alief...? Kamu setuju...?". Tanya ayahku.
" Kalau ayah dan keluarga Liza sudah setuju, ana setuju ayah...". Jawabku kikuk setelah ketahuan menatap Liza lama-lama.
" Alhamdulillah...". Serempak ayahku dan ayah Liza bertahmid.
Setelah ayahku dan ayah Liza bermusyawarah, mereka memutuskan akan melaksanakan akad nikah kami hari senin depan. Ayahku pamit pulang setelah misinya hari ini complete. Aku melihat kebahagiaan terpancar di Wajah ayahku.

Aku memberitahu kabar akan hari akad nikahku kepada sahabat-sahabatku, tak terkecuali yang di Kairo. Tiga hari sebelum hari akad nikahku berlansung, aku mendapat telphon dari Tata.

" Alief...! Selamat ya dah mau nikah, kemana aja selama ni..? Kok gak kabarin ana kalau anta mau nikah...?". Suara Tata diseberang sana.

" Alhamdulillah Tata, maaf ya ana belum sempat kabarin buat anti,...". Jawabku.

Aku mendengar samar-samar suara isak di ujung sana.

" Tata lagi nangis, Tata kenapa...?". Tanyaku kebingungan.

" Alief...! anta tanya kenpa lagi… bisa ya anta pendam rasa sama ana, kenapa mesti anta ungkapkan sama kak Zahra, kenapa bukan ke ana lansung, kenapa Alief gak mencoba melamar ana, ana menunggu Alief selama ni, ana mencintaimu lief... Hiks..". Tata menghujaniku dengan pertanyaan sekaligus ungkapan hatinya.

 " Maafkan ana Tata, ana nggak berani mencintai anti, anti begitu baik,sholehah, mahasiswi favorit, ana serba salah, anti keluarga kaya, sedangkan ana keluarga biasa. Apa kata orang tua anti jika ana harus lamar anti, dan anti juga pernah mengatakan pada kak Zahra kalau mencintai orang lain dan itu sahabat ana, sejak saat itu ana berhenti berharap pada anti...". Jelasku panjang lebar.

" Ana tau... Ana pernah bilang itu pada kak Zahra, tapi itu hanya curahan hati ana, dan ana gak pernah bilang siapa sama dia, cuma dia menebak kalau itu anta, ana bilang bukan karena ana malu ntar disorakin..". Balasnya dengan isak tangis.

" Maafkan ana Tata, saat ini kita tidak munkin bersama walau rasa cinta antara kita masih ada, ana mau nikah tiga hari lagi, ana akan mencintai istri ana kelak dan seiring berjalan waktu cinta yang ana simpan buat anti akan hilang, begitu juga dengan anti, cinta yang anti simpan buat ana akan tergantikan dengan cinta suami anti, kita tidak ditakdirkan bersama Tata. Cintailah suamimu sepenuh hati nantinya saat engkau sudah menikah ". Jelasku panjang lebar.

" Semoga anta bahagia ya lief... Amieen.". Lanjut tata singkat.

" amieeen... Anti juga... Assalamu'alaikum ". Aku mengakhiri pembicaraan kami.

Aku merasa langit runtuh menimpa diriku, cintaku 5 tahun yang lalu datang kembali. Ingin rasanya aku menangis saat berbicara dengan Tata tadi, cintaku yang paling dalam itu datang tapi aku tidak berdaya.

" Lupakan dia alief, dia diciptakan bukan untukmu, kamu sudah menkhitbah anak orang dan akan menikah 3 hari lagi, ingaat itu...". Aku berusaha menepis pikiranku yang gak karuan. Hari kebahagianku tiba, hari dimana aku berjanji di depan Allah dan Rasulnya beserta para hadirin akan menbina rumah tangga yang islami serta akan melahirkan para mujahid-mujahid islam kelak.

" cinta tidak harus memiliki, tapi milikilah cinta agar engkau memiliki segala-galanya".



Akhwat Primadona 3 , Patah Hati


Google image



Awal tahun ajaran baru di mulai. Aku sebagai mahasiswa baru di Universitas Al Azhar dengan penuh semangat selalu menghadiri setiap jam kuliah yang sudah di tetapkan.
Hari-hari ku di awal termen l kuhabiskan dengan ke kampus dan rumah. 



Tibalah masa dimana semua kepala mendidih, tangan kembali bergerak, kaki lebih banyak terlipat, mata lebih sedikit terpejam, masa ujian termen l dimulai dua minggu lagi.
Aku mencoba membaca ulang setiap diktat dan memperhatikan setiap silabus yang akan di ujikan. Seharian bergelut dengan diktat, penat rasanya, ingin sedikit me-refresh kepala dengan pergi ke warnet manyempatkan chating bersama sahabat-sahabat lama di kampung ku.



tidak lupa aku akan seseorang yang di hatiku, dia adalah Tata Syntia. Sudah lama sekali aku tidak pernah mendengar kabar tentangnya, apa kabar dia sekarang...? Aku melihat profil dia, memperhatikan setiap perubahan.  



" Ya Allah mudahkanlah segala urusan kami...".



Itulah status terakhir yang terupdate di profil dia dan tidak lupa di akhir nya dia tulis dengan tanda pagar "#keep_fighting" dua kata ini telah menjadi kata favorit bagi sebagian mahasiswi ketika mendekati ujian setelah kata " #chayyo " yang membuat aku mual-mual saat mendengarnya.



Rasa rindu akan sosok dia kembali hinggap di hatiku, rindu akan suaranya, rindu akan senyumnya walau saat ini dia sudah memakai cadar, rindu akan tatapan matanya. Apakah ini yang namanya CLBK ( cinta lama bersemi kembali )..?
Aku gak tau apa namanya semua ini, yang jelas aku ingin berjumpa dengan Tata dalam waktu dekat, ingin mendengar suaranya, ingin menatap wajahnya walau berbalut cadar.


Aku mengirim pesan ke facebook dia, berharap cepat ada balasan, yang jelas tidak munkin bagiku mengatakan kalau aku merindukannya atau dengan kata lain kangen.
" Salam'alaikum Tata... Apa kabar...? Gimana pesiapan ujiannya...? Mantap kan...? Saling mendoakan ya...! Oeh ya Tata...! Anti masih punya ringkasan diktat mata kuliah tingkat I nggak...? Kalau ada ana mau pinjam buat foto copy..." ku klik tanda send ke fb dia.


Azan asar berkumandang, aku segera menutup akun fb ku dan menuju ke masjid terdekat berharap maha pemilik rindu tidak mencabut rinduku pada-Nya hanya karena aku rindu akan makhluk-Nya.
Di setiap sujudku ku bermunajat semoga Allah tidak menjadikan celah bagi syaitan akan rindu yang berlebihan terhadap seorang wanita yang belum halal bagiku, bermunajat agar kelak di peruntuk bagiku istri yang mencintai ku karena Allah dan mencintainya karena Allah jua.
Meminjam ringkasan hanya sebagai alasan bagiku buat jumpa dengan Tata, jika tanpa alasan aku ajak jumpa dengan dia bisa-bisa habis aku di ceramahin ma dia, mau gimana lagi hanya itu sebuah cara yang bisa mengelabui dia.


Malamnya aku dapat telpon dari dari dia.


" Assalamu'alaikum..." suaranya lembut terdengar di ujung sana.


" Waalaikum salam.." jawabku.
" Alief... Ana liat pesan di fb anta mau minjam talkhisan tingkat satu ana ya...? (kami mahasiswa Al Azhar menyebut ringkasan sebagai talkhisan ) "
" ii ya Tata... Ada nggak.?" kataku.

" Alhamdulillah tadi ana periksa masih ada, beruntung anta Alief... " ujarnya.


" Alhamdulillah ya" aku ikut bertahmid.


"Oe ya Tata...( dalam hatiku ingin ku ucapkan "tata sayang" ) kapan bisa ana ambil..?" tanyaku ingin mengakhiri obrolan, berharap tidak menimbulkan fitnah.


" Besok bisa kan...? Kita jumpa di Sabi' jam 16:00 clt. Oke...! Jangan telat. (sabi' adalah salah satu nama daerah) ".Jawabnya serta-merta menentukan waktu dan tempat tanpa menunggu persetujuanku.


Aku hanya bisa mengiyakan berharap pembicaran ini tidak terlalu lama, tidak nyaman dengan kawan-kawan satu rumah.


Aku merasa sangat bahagia hari ini bisa berjumpa dengan pujaan hatiku setelah sekian lama tidak bersua, bertegur sapa, walau tadi waktu bertemu tidak sepatah katapun keluar dari mulutku, lidahku kelu, hanya kata "iya dan Amiieen " yang bisa terucap saat dia berkata :

" semangaat belajar ya alief, ntar kita bisa pulang ke aceh bersama-sama, dan semoga kita najah semua... Amien "


Aku tampak seperti anak yang dungu tidak mengerti apa-apa hanya mengambil talkhisan dan lansung pamit pulang.


Lets gones be by gones, tidaklah mengapa asal rasa rinduku telah terobati, suaranya sudah aku dengar dan kurekam di kepalaku, bunyi bahkan kalimat yang di ucapkan. Bola mata dan alisnya bisa kulihat, ada tanda kasih sayang yang besar terpancar disana.


Ujian termen I pun berakhir, aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Tata, malu rasanya jika harus menanyakan kabar seseorang yang tidak pernah menanyakan akan kabar kita.

Dua tahun aku lalui dikairo tanpa ada kabar apapun tentang dia, aku mencoba membuka hati untuk wanita lain yang pada kemudian hari aku sadari ternyata dia hanya sebuah pelarian hatiku karena tidak bisa mandapatkan cinta dari Tata.

Saat hatiku tidak bisa menahan akan rasa rindu pada Tata, aku mencoba menghubungi seorang kakak yang tinggal serumah bersamanya, menanyakan kabar dia, kakak itu hanya menjawab :


" Tata baik-baik saja dek..."


Setelah panjang lebar kami bercerita lewat hp, tiba-tiba bunyi... Tuuut....tut..

" ah sial.. Pulsaku habis,.." kata ku kesal sendiri.

Kemudia aku mencoba mengirim pesan ke kakak itu lewat Whatsapps. 

" Maaf kak tadi pulsa ana habis " kataku.

" gpp dek, kakak ngerti juga, kita kan sama-sama mahasiswa.." jawabnya.


" oe ya dek... Kamu suka dan jatuh cinta ma Tata ya...? " kakak itu melanjutkan.


Aku diam sejenak, berpikir apakah aku harus menyimpan rasa ini atau harus aku curahkan lewat kakak ini... Akhirnya aku putuskan mejawab.


" Iya kak, ana suka ma dia, bahkan cinta ana ini dah ana pendam sejak 3 tahun yang lalu, kakak orang pertama yang ana ceritakan masalah ini, karena kakak tanya tadi...". Jawabku


" Dek.. Sebenarnya kakak tau kamu menyukai dia, tapi lupakan dia, kakak adalah orang paling dekat dengan dia di kairo, dia pernah bercerita tentang siapa ikhwan yang dia cintai, dan dia gak pernah sekalipun menyebutkan nama mu dek, jadi lupakan dia agar kamu jangan sakit hati jika ternyata orang yang dia cintai adalah sahabat kamu, kakak gak mau bilang siapa ikhwan tersebut karena kakak sudah berjanji sama dia. Adek fokus belajar aja dulu, jangan pikir akhwat dulu ya... Ntar kalau dah siap lansung lamar siapa yang adek mau...". Kakak itu menjelaskan panjang lebar.

" iya kak, Insyaallah..." jawabku singkat.


Hatiku remuk, hancur berkeping-keping, rasa yang selama ini aku pendam sia-sia, cinta yang selama ini aku anggap berbuah manis ternyata pahit dan busuk.


Aku menyesal mengenal Tata, menyesal menaruh hati padanya, menyesal jadi sahabatnya, aku menyesal pernah hidup semasa dengan dia.


Malam harinya aku duduk termenung ditemani sebungkus rokok dan secangkir kopi menemaniku, ingin kuhabiskan setiap batang rokok ini agar pikiran ku tenang.
Batang demi batang aku hisap, bara api di ujung obor yang sedang aku hisap jatuh membakar jari tanganku membangunkan alam kesadaranku akan hakikat seorang hamba dalam menghadapi setiap kegalauan hati, ternyata bukan begini yang di perintah kan oleh agama, saat hati merasa tidak tenang, kembalilah kepada Allah yang maha memberi ketenangan, pencipta cinta.

aku berucap " Terimakasih ya Allah engaku telah mengingatkan aku melalui percikan bara api rokok ku sehingga aku berhenti menghisapnya...".


Aku bergegas mengambil wudhu' dan shalat dua raka'at bermunajat kepada Allah agar mengampuni setiap dosa-dosaku karena hampir berputus asa hanya karena cinta seorang makhluknya.


Di akhir do'a aku momohon :


" Ya Allah engkau maha mengetahui akan beban yang bisa aku pikul, akan cinta yang bisa aku pelihara, akan segala asa yang aku harapkan, berikanlah segalanya sesuai dengan kebutuhanku, bukan karena pilihanku tapi karena pilihan-Mu. Dan anugerahkan lah bagi Tata syntia laki-laki yang dia cintai, berikanlah selalu kebaikan kepada dia dan kebahagian... Aaaaminn."


Aku melipat sajadahku dan beranjak menuju ketempat tidur berharap esok harinya kebahagian menyelimutiku, dan jalan kehidupanku berjalan sesuai titah agama.