Google image |
Seorang murid bertanya pada sang guru
dalam sebuah majlis :
"ya syekh... bukankah doa orang
yang terdhalimi itu tidak ada hijab...? kami sering mendengar di
khutbah-khutbah
pada hari jum'at dari sebagian khatib mendo'akan kehancuran, mendo'akan kebinasaan, dan mencaci Bashar Assad...! atau presiden-presiden diktator negara lainnya..."
pada hari jum'at dari sebagian khatib mendo'akan kehancuran, mendo'akan kebinasaan, dan mencaci Bashar Assad...! atau presiden-presiden diktator negara lainnya..."
Terlihat dari raut wajah syekh perasaan
kecewa saat mendengar pertanyaan tersebut dari muridnya, tapi apalah guna
seorang guru jika bukan untuk membimbing muridnya. Beliau berkata :
"wahai anak-anak ku... biarkan
mereka dengan apa yang mereka katakan, kamu tidak mampu jika hendak mengubah
para khatib itu tapi ubahlah cara kita menyikapi dan memahami makna dari hadist
Rasulullah yang bahwa doa orang terdhalimi tidak ada hijab sehingga ketika
nantinya kamu jadi khatib kamu tidak demikian ceroboh dalam berkata dan
berucap. Bukan kah sebaiknya kita doakan agar Allah memberikan hidayah-Nya
kepada mereka sehingga kediktatorannya di gunakan kepada penerapan syariat
Allah... mendoakan agar sifat keras dan bengisnya di gunakan untuk merobohkan
setiap benteng musuh islam... mendoakan agar sifat tiraninya di gunakan untuk
mendapatkan kembali tanah haram kita yang ketiga Al Quds... bijaksanalah dalam
bersikap wahai anak-anak ku…”
Bukankah ini lebih baik ketimbang
kita mencaci dan melaknat diatas mimbar yang dimana disana berdirinya sang
pembawa Risalah Ilahi, yang memangku jabatan utusan Tuhan, memikul beban
umat sepanjang zaman, menjadi guru untuk seluruh manusia hitam atau putih warna
mereka, sang panglima yang dari lisan-nya menyadarkan pemilik kekaisaran Romawi
bahwa mereka tidak akan berdaya jiak berhadapan dengan-nya, sang pemimpin yang
di lindungi bukan karena takut akan kekejaman-nya tapi karena dari pembawaannya
yang tenang dihiasi seuntai senyum di bibirnya sehingga di cintai oleh shahabat
lebih dari mencintai diri sendiri, sang pemimpin yang setiap tetes keringatnya
menjadi kasturi umatnya, sang raja yang selalu menjadikan yang kuat pelindung
bagi lemah dan lemah selalu mendapatkan haknya. Beliau adalah Muhammad Rasulullah
Shallahu alaihi wasallam.... pernahkah kita mendengar dari lisan beliau
sebuah kata cacian...? laknat...? kenapa kita yang di berikan nikmat lisan para
Nabi (khatib) menyimpang pada apa yang Beliau bawa...? bukankah beliau selalu
bertutur kata lembut...? kenapa kita mesti manafsirkan hadist Rasulullah bukan
sebagaimana yang beliau inginkan...? bukankah kita para pembawa panji
Rasulullah warisan dari para Shahabat-nya...? karena itu ubahlah sikap sombong
kita menjadi penolong setidaknya mengangkat tangan dan menengadah kelangit dengan
rendah diri dan berkata :
"Ya Allah... berikanlah kepada
kami hidayah dan orang-orang yang hidup dengan kami walau berbeda ras dan
kulit, berpisah jarak lautan atau daratan, berbeda tingkatan dan derajat,
tinggikanlah derajat kami di dunia dan akhirat... tuntunlah pemimpin kami yang
telah engkau berikan kepadanya kerajaan-Mu di bumi kepada kebaikan dan
integritas yang tinggi, karena Engkau memberikan kekuasaan kepada siapa yang
engkau kehendaki dan mencabutnya dari siapa yang Engkau kehendaki... dan
janganlah Engkau binasakan kami karena buruknya akhlak orang-orang di sekitar
kami... berikanlah hidayah-Mu kepada mereka dan kami... Ya Allah Engkau kuasa
atas segalanya… Qudrah-Mu diatas segala qudrah, tidak ada tempat berlindung
kecuali dibawah payung-Mu dan payung Nabi-Mu... Jika Engkau tidak melindungi
kami sungguh kami berada pada golongan yang merugi... kepada-Mu kami
bertawakkal ya Allah Sang Pengasih dan Penyayang di dunia dan Akhirat..."
Lantas adakah alasan lagi bagi kita
kecuali sama-sama bermuhasabah dan berdo'a dengan baik-baik...? kadang kita
merasa benar padahal hakikatnya salah kemudian mendapat teguran dari teman atau
orang sekitar yang dimata kita mereka rendah atau sedikit agamanya sehingga
kita enggan untuk bertaubat karena sombong dan angkuh. Dimana posisi kita jika
dibandingkan dengan sayyidina Umar ibnu Khattab yang setiap waktu selalu
menitikkan air mata hanya karena kekhilafan yang beliau lakukan, padahal khilaf
beliau karena Ijtihad yang beliau lakukan dan amal seseorang berdasarkan
niatnya, adapun Ijtihad jika salah mendapatkan satu pahala dan jika benar dua
pahala ( satu pahala karena melakukan dengan metode yang benar (manhaj islami),
dua pahala karena melengkapinya dengan ajaran Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah).
Cukuplah dengan satu hadist ini untuk
membuat kita sadar kenapa Islam bisa menaklukkan kakaisaran Roma dan Persia
pada masa shahabat Radhiallahu ‘anhum sedangkan kita tidak melakukan
apa-apa kecuali saling menghujat yang tiada akhir, jangan menyalahkan orang
lain tapi salahkan diri kita yang tidak bisa melakukan apa-apa disaat musuh
agama datang dari segala penjuru. Rasulullah bersabar dan melarang malaikat
menghancurkan penduduk Thaif saat orang-orangnya melempari beliau dengan batu dan
berkata :
"aku berharap semoga Allah memberikan hidayah dan menjadikan dari keturunan mereka orang-orang yang selalu mengingat Allah... ya Allah tunjukkan lah hidayah kepada kaum ku… sesungguhnya mereka dalam keadaan tidak mengetahui..."
"aku berharap semoga Allah memberikan hidayah dan menjadikan dari keturunan mereka orang-orang yang selalu mengingat Allah... ya Allah tunjukkan lah hidayah kepada kaum ku… sesungguhnya mereka dalam keadaan tidak mengetahui..."
Masihkah kita ragu untuk berdoa
dengan doa yang baik... Rasulullah berdoa dengan kebaikan kepada ahli thaif
yang masa itu masih dalam keadaan kafir... sedangkan sekarang yang kita doakan saudara
kita se-Islam... Rasulullah tidaklah di utus kecuali untuk menyempurnakan
akhlak…
Mari kita bersikap bijaksana dalam
berdo’a dan jangan sia-siakan doa kita dengan keburukan...
Ya Allah hanya ini yang sanggup di jangkau oleh nalar pikiran ku atas perkataan ulama-Mu dan apa yang aku lihat dari pendirian dan keyakinan mereka yang sampai pada penglihatan ku… Bimbinglah kami selalu… Aamieen. Waallahua'lam[1]
Ya Allah hanya ini yang sanggup di jangkau oleh nalar pikiran ku atas perkataan ulama-Mu dan apa yang aku lihat dari pendirian dan keyakinan mereka yang sampai pada penglihatan ku… Bimbinglah kami selalu… Aamieen. Waallahua'lam[1]
[1] Sedikit
intisari dari apa yang bisa kita pelajari dari sikap bijak ulama Rabbani Syekh
Sa'id Ramadhan Al-buty dalam mengambil dalam menyikapi situasi zaman fitnah,
dan atas jawaban syekh Hisyam kamil agar selalu mendo'kan orang dengan
kebaikan.