Untuk Murid-muridku!

Google Image

Hari ini adalah hari pertamaku mengajar setelah aku menyelesaikan kuliahku di Al azhar kairo.
Teng…teng…bel berbunyi tanda jam mengajar di mulai, aku beranjak dari kantor dewan guru menuju kelas, hatiku tak karuan, aku takut tak kuasa menatap wajah-wajah mungil santri, mentalku belum kuat, aku memantapkan langkahku seiring hatiku berucap “Ini adalah kepercayaan yang diberikan oleh pimpinan pesantren kepadamu Rafe dan juga amanah dari gurumu di Al Azhar untuk mengajarkan ilmu yang engkau dapat dari mereka, kamu bisa jadi yang terbaik, mulailah dengan Basmallah…!” aku berucap Bismillahir rahmanir rahim , kemudian memasuki ruang kelasku seraya  berucap “assalaamu’alaikum…” serentak para santri menjawab “wa’alaikumsalam…”
“apa kabar anak-anakku…?” “Alhamdulillah baik ustadz “. Setelah basa-basi antara aku dan muridku selesai, aku berkata “jadi pada hari ini kita akan memulai pelajaran kita di bab mubtada’ dan khabar, sekarang buka buku kalian…!” Kemudian salah seorang dari mereka menyanggah, “ustadz…! kita perkenalan dulu…!,”
Aku menyahut “Baiklah kalau begitu ustadz akan memperkenalkan diri, setelah itu kalian memperkenalkan diri satu persatu, dan minggu depan kita akan memulai mata pelajaran kita ya…!”
Dengan semangat mereka menjawab “iya ustadz…!”
“Baiklah anak-anakku, nama ustadz Rafeyadi panggil saja ustadz Rafe, ustadz alumni Al Azhar. ” Mereka pun aku persilahkan untuk memperkenalkan diri satu persatu tak satupun tidak mendapatkan giliran.
Suasana di kelas diam sesaat, kemudian salah seorang dari mereka bertanya menghidupkan suasana ,” ustadz apa penyebabnya sehingga kami malas-malasan dalam balajar, kenapa ulama-ulama dulu seperti Imam Syafi’I, Imam Nawawi mereka sungguh-sungguh dalam belajar…?” aku tersentak dengan pertanyaan muridku tersebut seraya berucap, ” ustadz akan menjawab pertanyaan kamu tidak secara lansung, tapi dengan ustadz ceritakan sepenggal kisah hidup ustadz di Kairo, bolehkan…?” tak Cuma satu orang yang menjawab tapi kini semuanya ” boleh ustaaaadz…!”.
Kini pikiranku menerawang ke masa silam saat aku berada di kairo sambil berucap,
” suatu hari di pagi yang cerah saat Matahari mulai mencoba mengintip makhluk bumi di negri para Anbiya’, saat udara musim dingin menusuk sumsum tulang, ustadz berjalan menelusuri bangunan tua menuju mesjid Al Azhar, untuk mengikuti pengajian rutinitas yang diadakan oleh Syeh-Syekh alumni Al Azhar. Walau hawa musim dingin yang beku tak membuat  langkah  terhenti, bahkan menjadi lebih ringan, sehingga ini terus ustadz jalani hingga mencapai 4 bulan, kemudian pada hari selanjutnya langkah ustadz sempat terhenti, kebosanan datang menghampiri, serta ingin menghilangkan kebiasaan baik yang ustadz lakukan, sampai-sampai ustadz berkata dalam diri sendiri ” rumah, masjid Al Azhar, rumah lagi, mesjid Al Azhar …! Bosan sudah… ini terus rute kehidupan, rute perjalanan hari-hari, dah ikut pengajian pada gak faham ge aku, gak da guna nya…!”
Ustadz mencoba menepis pikiran yang sudah di kotori setan tersebut dengan mencoba membuka sebuah buku yang berjudul Risalah Ta’alim karangan Syekh Al Banna, hadiah bagi para shahibul risalah Hizbul Ikhwan demi masa depan cemerlang. Beliau merupakan salah seorang yang ustadz kagumi pribadinya setelah Rasulullah SAW, dan para shahabat Radhiallahu Anhum, juga para guru-guru di Al Azhar.
Ketika memperhatikan judul dari risalah tersebut, tidak ada yang istimewa, hanya risalah biasa layaknya risalah-risalah lain yang sudah tersebar. Tapi kesederhanaan judul risalah itu yang membuat ustadz ingin membaca nya, seorang yang telah merubah dunia dan mengobarkan semangat para anggota Hizbul Ikhwan untuk terus bertahan, tidak munkin menulis sesuatu yang biasa tanpa ada isi yang terselip didalam nya yang sangat dalam jika kita mau menyelaminya.
Ustadz membuka risalah Syekh Al banna pada halaman pertama yang berisi muqaddimah risalah atau dalam kata lainnya kata pengantar dari beliau. Lima baris selesai ustadz baca, ketika hendak melanjutkan ke baris selanjutnya pandangan terhenti tatkala mendapatkan Syekh Al Banna membubuhkan di muqaddimah tersebut cuplikan dari sebuah ayat dari mu’jizat Nabi SAW yang berbunyi, “dan katakanlah, bekerjalah kamu niscaya Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga rasul-rasulnya dan orang-orang mukmin,dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang maha mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apayang telah kamu kerjakan” Al taubah:105. Kemudian ustadz sujud syukur atas hidayah yang diberikan Allah, dalam sujud ustadz berdo’a semoga Allah merahmati Syekh Al Banna, tak terasa air mata telah membasahi tempat sujud, ustadz bangun dan kembali seraya memohon ampun atas kelalaian selama ini telah dilakukan.
Ketika itu ustadz  mencoba mengambil sebuah kesimpulan dari ayat tersebut, bahwa  tujuan hidup manusia adalah semua nya untuk akhirat, begitu juga karakter atau sifat yang telah di praktek kan para Syekh-Syekh di Al Azhar,mereka menghidupkn majlis-majlis ilmu di mesjid tanpa pamrih, itu semua mereka jadikan tabungan untuk hari petang kelak.
ustadz tidak peduli betul atau salah yang tersimpulkan dari ayat tersebut, yang penting ustadz semangat kembali, karena bagi ustadz Al Qur’an adalah pedoman yang bisa di ambil mamfaat dari segala segi, dan tidak ada kata lain yang tersirat dalam pikiran saat itu.
Ustadz pun berkata pada diri sendiri…!
” Rafe…! Kamu harus berjanji pada dirimu sendiri untuk tidak akan mengecewakan orang tuamu di Aceh akan hasil studi yang di peroleh, juga ilmu yang tidak mumada yang  didapatkan di Kairo.”
ustadz menjawab pada diri sendiri: “insya Allah aku tidak akan mengecewakan mereka.”
Ternyata percakapan ustadz belum terhenti di sana, kemudian berucap lagi pada diri sendiri “rafe jangan sampai niatmu menuntut ilmu ke Kairo berubah menjadi menuntut materi, jika sampai berubah niat sia-sialah engkau ke Kairo…!”  insya Allah jawabku kecil.
Kalau begitu mulailah dengan Bismillah…!
Sesaat kemudian ustadz bangkitlah ustadz menuju ke kampus untuk mengikuti mata kuliah hari itu. Ketika itu juga semangat baru datang menghampiri ustadz, dan menjalani hari-hari dengan tatapan menantang dan kegagahan yang tak bisa dikalahkan, tak bisa dirobohkan bak benteng Salahuddin Al Ayyubi, walau kemampuan otak yang biasa-biasa saja, akan tetapi tujuan hidup bukanlah dunia melainkan akhirat.
Siang dan malam di setiap sujud ustadz selalu berdo’a hingga sekarang, ” terimakasih ya rab atas segala karunia , nikmat yang telah engkau berikan kepadaku, bimbinglah hambamu ini ke jalanmu, positif kan pikiran hamba terhadapMu, ridhailah hamba ya Allah… amien…!”  Begitulah sepengal kisah perjalanan hidup ustadz ketika belajar di Kairo.
Kemudian aku mengakhiri cerita tersebut dengan melontarkan pertanyaan kepada muridku, ” sekarang siapa diantara kalian yang bisa mengambil intisari sebagai jawaban dari pertanyaan kawan kalian tadi…?” murid-muridku diam tanpa suara, entah tidak tau jawaban atau munkin sedang merenungi cerita tersebut, pikirku menenangkan diri yang sejak aku bercerita  tadi sudah agak gugup.
Aku menunjuk kearah muridku yang bertanya tadi seraya berkata,”kamu Hakim sudah bisa mengambil jawaban dari cerita ustadz tadi…?”  “Alhamdulillah sudah ustadz” jawabnya singkat, “kalau begitu sekarang kamu maju kedepan ungkapkan  apa yang dapat kamu ambil menjadi jawaban dari cerita tersebut…!”
Kemudian Hakim maju dan berkata “yang dapat saya ambil intisari dari cerita ustadz adalah kita tidak boleh malas-malasan belajar,kita harus memperbaiki niat kita dalam menuntut ilmu,yaitu ikhlas karena Allah, seperti ulama-ulama dulu yang mau mengarang kitab banyak-banyak tanpa mengharapkan imbalan dari manusia akan tetapi ridha dari Allah,begitu juga Syekh-Syekh yang mengajar di majlis-majlis ilmu yang ikhlas karna Allah. Karna tujuan dari segala apa yang kita cari di dunia adalah untuk  bekal perjalanan hidup kita di akhirat kelak, Cuma itu saja yang dapat saya ambil intisarinya ustadz ” tutupnya dengan malu-malu.
Aku kagum akan muridku yang satu ini, dia bisa mengambil inti dari cerita yang aku sampaikan melebihi dari apa yang aku perkirakan. “Terikasih ya Allah akan nikmat yang engkau berikan kepadaku, syukurku belum bisa membayar segala nikmatMu”  hati kecilku berucap.
Aku kembali fokuskan pandangan ke wajah-wajah mungil di depanku, aku menatap mereka satu persatu, “kalian adalah Imam Syafi’i zaman modern, Imam Nawawi zaman metropolitan ini, kalian pahlawan bagi bangsa dan Negara, mujahidin bagi Agama. Tancapkan tombak kesungguh-sungguhan dalam dada, mulailah untuk berbuat demi bangsa dan Negara, tanpa memalingkan muka dari Agama. Tidak ada kata tidak bisa dalam kehidupan ini jika kita mau berusaha, kecerdasan bukanlah sebuah patokan untuk mengatakan seseorang  akan sukses, karna orang cerdas akan kalah jika berhadapan dengan orang yang rajin, begitu juga rajin akan kalah dengan orang yang nekat, jika saja dia tidak berani mengambil resiko, orang nekat pun akan kalah dengan orang gila, jika resiko yang di jumpai dijadikan sebuah masalah atau hambatan bagi dirinya. Apakah orang gila tidak ada yang bisa mengalahkan dia…?, ada hanya orang gila yang bisa mengalahkan orang gila, dari itu jadilah orang gila…!” ucapku pada mereka.
Aku melihat kebingungungan di raut muka mereka, kemudian aku malenjutkan kata-kataku, ” kita tidak harus menjadi orang gila, tapi kita mengambil salah satu sifat dia sebagai pelajaran, yaitu: selalu tersenyum dalam keadaan apapun, dari itu tanamkan iman dalam hati kalian, bahwa segala sesuatu yang menimpa kalian adalah ketetapan dari Allah dan pasti ada hikmahnya, selalu berprasangka baik kepada Allah serta hadapilah dengan senyuman…!”.
Baiklah anak-anakku sekalian karna waktu kita sudah habis, InsyaAllah minggu depan kita bertatap muka kembali. Ustadz minta izin “Assalamu’alaikum…!”
Aku melangkah keluar dari kelas seiring bel berbunyi mendampingiku…J
sekian

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »