Sejenak Bersama Rasulullah (Tangga/Carta kehidupan)



Google Image
Rasulullah Saw Ketika hendak bepergian selalu menyalami satu persatu dari keluarga beliau sebagai tanda minta diri, terakhir yang disalaminya adalah Sayyidah Fatimah Zahra' karena dari rumah Fatimah lah safar Rasulullah dimulai. Adapun ketika kembali dari safar Sayyidah Fatimah menjadi orang pertama yang Rasulullah jumpai.
Pada suatu hari Sayyidina Ali r.a. melakukan safar dengan pulang membawa beberapa harta benda (nganimah) dan menyerahkan kepada istrinya Sayyidatina Fatimah. Sayyidah Fatimah membeli dengan harta ghanimah tersebut beberapa gelang dari perak dan memakainya serta sepotong kain dan menggantungkannya sebagai sitar (gorden) diatas pintunya.
Ketika Rasulullah Saw kembali dari safar, seperti biasanya Beliau lansung menjumpai putrinya Sayyidatina Fatimah, bergegas lah Fatimah menyambut kedatangan ayahandanya dengan suka cita penuh kerinduan. Rasulullah melihat kepada Fatimah dan menemukan ditangannya gelang-gelang dari perak, dan sepotong kain tergantung sebagai sitar diatas pintunya, ketika itu Rasulullah tidak berucap apa-apa hanya berdiam saja.
Ketika Rasulullah Saw beranjak pergi dari rumah Fatimah, Fatimah merasa sedih dan menangis seraya berkata :
"Rasulullah tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya kepadaku... !"
Sayyidatina Fatimah melepaskan gelang-gelang dari perak ditangannya dan mencopot sitar yang ada di atas pintunya, kemudian memanggil anaknya Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husen serta memberikan kepada salah satu dari mereka gelang dan pada yang lain kain, kemudian meyuruh mendatangi kakek Mereka mengirimkan salam dari ibunya Sayyidah Fatimah dan menyerahkan gelang serta kain tersebut, dan mengatakan : "kami tidak akan melakukan hal ini lagi ".
Sayyidina Hasan dan Husen mendatangi Rasulullah dengan membawa gelang dan kain sitar dari ibunda mereka Sayyidah Fatimah, Rasulullah mencium kedua cucunya tersebut dan mendudukkan mereka di pangkuan beliau. Kemudian menyuruh tukang tempah perak untuk menhancurkan gelang tersebut dan menjadikannya potongan-potongan perak dan memanggil para Ahli Suffah[1] untuk dibagikan kepada mereka potongan perak tadi. Kemudian memanggil seorang yang tidak memiliki pakain sama sekali dan mengukur sesuai ukuran orang tersebut untuk di jadikan pakaian yang menutupi auratnya.
Kemudian Rasulullah memerintahkan kepada para jama'ah wanita jika mereka dalam Shalat agar tidak mendahulukan jama'ah laki-laki untuk bangun dari sujud ataupun ruku’, karena minimnya kain penutup aurat laki-laki. Sehingga jadilah sunnah mutawatirah akan ketidakbolehan bagi wanita mendahului laki-laki dalam mengangkat kepala ketika ruku’ dan sujud.
Rasulullah bersabda : "rahimallah Fatimah, semoga Allah menggantikan sitar ini dengan sitar surga, dan memakaikan nya perhiasan dari perhiasan surga."
Kalau kita melihat kisah ini hanya dengan menggunakan mata telanjang dan segumpal isi dalam tempurung kepala kita, maka kita akan mengatakan begini : "bukankah setiap orang memiliki hak kebebasan dalam membelanjakan setiap harta yang dia miliki sesuai dengan keinginan dia...? Adapun yang dilakukan Sayyidatina Fatimah tidaklah salah karena itu di bolehkan oleh syariat, dan juga sangat diterima oleh akal sehat.”
Bukan Sayyidatina Fatimah namanya jika harus berbuat sebuah kesalahan, walau beliau tidaklah makshum. Akan tetapi apa yang beliau lakukan, seperti membeli sepotong kain sebagai gorden, dan beberapa gelang dari perak karena itu adalah hal yang sangat biasa. Yang jadi pertanyaannya adalah kenapa Rasulullah tidak menyetujui atas apa yang di lakukan putrinya Fatimah r.a...?
Jawabannya diketahui oleh Sayyidatina Fatimah dengan mengirim gelang dan kain sitar kepada Rasulullah untuk di infakkan kepada yang membutuhkannya.
Dari kisah tadi kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa tidaklah dilarang bagi seseorang untuk membeli perhiasan bagi dirinya dan sesuatu yang bermamfaat lainnya. Akan tetapi dengan sikap dan tindakan beliau mengajarkan kita agar tidak melupakan mereka-mereka yang miskin disekitar kita, para fakir yang bahkan untuk makan saja susah apalagi membeli perhiasan.
Berikutnya jika kita lihat dari pandangan yang lebih mendalam, kita bisa menemukan hikmah lain, yang mana pelajaran ini di tujukan lebih khusus kepada mereka yang mengemban amanah sebagai Khalifah Allah dalam menyampaikan segala bentuk Risalah ilahi, dan berbagai kepentingan Agama. Kenapa bisa dikhususkan demikian..? "Karena mereka adalah pemuka dan pemimpin umat Islam."
Seorang pemimpin atau penghulu yang melihat kepada masyarakatnya dengan mata qudwah dan uswah, mereka akan rela berkorban melebihi dari orang lain, rela hidup sederhana demi kemakmuran masyarkat madani yang di pimpinnya.
Begitulah yang di ajarkan kepada kita oleh sosok pemimpin tangguh, tulen dan efektif baginda Nabi Muhammad Shallahu 'alaihi wasallam tidak ridha ketika melihat putrinya menggantung sepotong kain gorden diatas pintunya dan memakai gelang dari perak ditangan untuk menghias diri di depan suaminya sedangkan para umatnya hidup dalam keadaan fakir bahkan pakaian untuk menutup aurat saja tidak memiliki.
Perjalan kita tadi bersama Rasulullah Shallahu 'alaihi wasallam sangatlah menyentuh dan mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya seorang pemimpin yang adil menjalani kehidupannya, seorang yang hidup dermawan terhadap hartanya, seorang yang punya kedudukan dalam masyarakat terhadap orang sekitar, bahwa bagi mereka agar tidak memikirkan kebutuhan pribadi dibandingkan kebutuhan masyarakat pada umumnya , bagi dia harus saling bahu-membahu, bantu-membantu dalam mewujudkan masyarakat yang makmur dan tentram.
Karena dengan segala sifat qudwah dan uswah hasanah lah derajat manusia akan tinggi. Waallahu'alam.[2]








[1] orang fakir muhajirin yang tidak memiliki rumah dan harta benda
[2]
*Dikutip dari kitab Seratus Pancaran Cahaya Dari Kehidupan Baginda Nabi Muhammad SAW

Sejenak Bersama Rasulullah (Pelajaran Keimanan)


Google Image
Ketika Rasulullah Shallahu alaihi wasallam berada dirumah Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha, pada saat Ummu Salamah memasuki kamarnya beliau tidak mendapati Rasulullah disana, beliau mencari di seputaran rumah dan mendapati Rasulullah berada di sudut lain rumah sedang bermunajat kepada Allah dengan terisak seraya berucap :

“ya Allah… kekalkan lah kepadaku setiap kebaikan yang sudah engkau anugerahkan kepadaku dan jangan pernah Engkau mengharamkannya dariku…
ya Allah… janganlah Engkau meninggalkanku dengan segala urusanku, membiarkan diriku hidup tanpa bimbingan dari-Mu…
ya Allah… janganlah Engkau biarkan musuh-musuhku dan para pendengki memperoleh kemenangan atas diriku…
ya Allah… janganlah Engkau membalikkan hatiku kepada kesesatan yang telah engkau buka kepada kebaikan…
ya Allah… jadikanlah diriku senantiasa pada jalan-Mu jalannya para nabi-Mu, dan orang-orang shaleh sebelumku…”
Ummu Salamah tidak ingin mengganggu munajat Rasulullah dan memilih menyimak kata perkata dari doa Rasulullah, setelah mendengar setiap kalimat dari munajat Rasulullah Ummu Salamah menitikkan air mata sebagaimana Rasulullah menangis terisak dalam munajat-nya tadi.
Rasulullah bertanya : “apa gerangan yang membuat dirimu menangis wahai Ummu Salamah…?”

“ya Rasulullah… engkau adalah seorang yang derajatnya sangat tinggi di sisi Allah, dan Allah telah menjamin pengampunan atas setiap dosa mu yang telah berlalu dan yang akan datang, dan engkau berdoa kepada Allah agar selalu menjagamu dan membimbingmu…
selalu menjauhkanmu dari keburukan… senantiasa menganugerahkan kebaikan kepadamu…
bagaimana denganku wahai Rasulullah…? Derajatku  sangat jauh jika di bandingkan dengan engkau… aku hanya manusia biasa yang kapan saja bisa terjerumus kepada dosa…
tidak dengan engkau… karena itu aku menangis wahai Nabi Allah…” jawab Ummu salamah.
Rasulullah berkata : “wahai ummu salamah… tidak ada yang membuatku aman kecuali penjagaan Allah akan diriku… Allah telah menbiarkan Yunus ‘alaihissalam sekejap dalam wewenang dirinya… dan apa yang terjadi kita sudah mengetahuinya “
Dari sejenak kita bersama Rasulullah tadi kita bisa menilai siapa diri kita, dan ternyata kita tidak lebih hanyalah manusia… Manusia seperti apakah kita…?
Manusia yang sering beranggapan dirinya sudah selamat dihari kelak ketika mereka sudah beriman saja, dan yakin surga sudah jadi tempatnya…?
sangaaaaat jauh… dan sangat jauh…
Sungguh sangat menyedihkan jika kita beranggapan demikian, selamat dari api neraka, sedangkan Rasulullah saw. yang sangat agung dan tinggi derajatnya, tindakan dan perkataannya adalah wahyu… Beliau terus menerus bermunajat kepada Allah sang penguasa semesta dengan air mata yang menganak sungai di kedua pipinya, berdoa dengan penuh kerendahan diri meminta agar dirinya selalu berada pada jalan yang lurus, dan cahaya keimanan selalu menerangi hatinya… semua yang Rasulullah lakukan semata hanya ingin mencapai keridhaan dari Allah swt. Yang mana akan membuahkan akhir yang baik. Iman kita dengan iman Rasulullah sangatlah jauh berbeda, kita berada belapis-lapis dibawah kerak bumi sedangkan Rasulullah di tingkat paling tinggi sehingga tiada kata yang sampai kepada tingkatan tersebut.
Sejarah sudah mengabadikan sangat banyak kejadian yang dimana manusia sering menyimpang dari jalan lurus yang dulunya ia adalah seorang yang menjunjung tinggi hakikat keimanan, akan tetapi ketika dia sudah merasa mampu membimbing dirinya mulailah dunia menyeretnya kedalam kesesatan dan menenggelamkannya ke dasar lautan orang-orang yang lalai. Rasulullah mengambil contoh dari sikap beliau tersebut berdasarkan apa yang sejarah rekam, dimana saat Nabi Yunus ‘alaihissalam mengambil jalan keluar atas inisiatif dirinya untuk pergi meninggalkan kaumnya dan apa yang terjadi beliau di telan oleh ikat paus dan mengalami kesusahan padahal beliau hanya sesaat melakukan pekerjaan atas keinginannya tanpa bimbingan dari Allah. Ini adalah panggilan hati, panggilan kesadaran kepada seluruh orang mukmin agar selalu berpangku kepada Allah dan tidak pernah tertipu dengan apa yang terlihat oleh mata, karena syaithan selalu bermain dan memperindah setiap amalan manusia sehingga dia menilai orang lain atau dirinya sudah berhak masuk surga dan nereka sangat jauh darinya…
Kita selaku manusia hendaklah selalu meminta taufik dari Allah walupun iman kita setinggi langit dan jangan terpedaya dengan itu sehingga segala amal kita bukan menjadi pahala akan tetapi maksiat. Nauzdubillah…
Jika saja kita bisa memposisikan diri kita dalam setiap tindakan sebagaimana yang Rasulullah teladankan apalagi dalam masalah keimanan niscaya tempat yang paling pantas bagi kita adalah berada bersama para auliya’ dan orang-orang shaleh. Adakah di antara kita yang imannya melampaui iman Rasulullah…?

Waallahu’alam.