Google Image |
Kemerdekaan merupakan impian semua makhluk di dunia ini, tidak
terkecuali hewan sekalipun, begitu juga dengan masyarakat Aceh yang
dijuluki Serambi Mekah, menginginkan kemerdekaan dari NKRI. Mereka
merasa telah dijajah di tanah air mereka sendiri, perang demi perang
dilancarkan tidak cukup dengan perang pemikiran, hingga ke pertumpahan
darah, bahkan harus keluar negri mencari suaka politik. Sungguh sangat
mengiris hati.
Ketika Referendum digalakkan warga Aceh, ratusan orang terbunuh,
belum cukup mayat bergelimpangan, Darurat militer pun di sahkan. Ketika
Tsunami di Aceh menyapu bersih sebagian kota, mayat bergelimpangan tidak
berbeda antara intelektual ataupun jahil, semua mata terbuka untuk Aceh
dalam negeri maupun penjuru dunia. Para intelektual luar negeri
berlomba-lomba turun tangan dalam membenahi Aceh supaya menjadi aman,
damai, dan sejahtera.
Nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM disusun atau lebih
dikenal dengan MOU Helsinki yang ditanda tangani pada 15 Agustus 2005,
tahap perundingan antara pemerintah RI dan GAM dilakukan di Vantaa, pada
27 Ferbuari 2005 yang difasilitasi oleh Mantan Presiden Finlandia Matti
Ahtisari. Proses perdamaian ini di bawah pantauan AMM (Aceh Monitoring
Mission) yang beranggotakan 5 negara Asean dan beberapa gabungan negara
Eropa.
“Pemerintah RI akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik
yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional, dan pemberian
amnesti dari Pemerintah RI serta memperoleh semua hak-hak politik,
ekonomi, sosial, dan hak berpartisipasi dalam politik baik di Aceh
maupun pada tingkat nasional”. Ini merupakan poin paling penting dari
Nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM.
Tahun 2006 dan 2009, Aceh masih bisa menampakkan marwahnya sebagai
negeri Serambi Makkah, Aceh berhasil melaksanakan Pilkada dengan adil
dan damai.
Akan tetapi, apa yang terjadi pada Pilkada saat ini. Pilkada harus di
coling down bahkan harus di tunda hingga 9 april 2012 dari tanggal yang
telah di tetatapkan sebelumnya. Kenapa…?
Apakah panggranatan, pembunuhan yang terjadi dikala proses kampanye,
serta protes jalur Independen yang membuat Pilkada Aceh harus di tunda.
Jika iya berarti Aceh bukanlah yang seperti dulu, kini politik serta
Pilkada di Aceh telah kehilangan fatsoen nya, karena persaingan mereka
yang kurang memenuhi syarat atau berpaling dari aturan serta penuh
dengan ketidak jelasan.
Antaranews menuliskan, “presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan
128 Duta Besar dan perwakilan organisasi internasional di gedung
pancasila menegaskan bahwa,” situasi politik di Aceh menghangat tapi
terkelola, tidak terkait masalah rekonsiliasi dan reintegrasi pasca
komflik di aceh.”
Apakah ini sindiran ataukah pujian terhadap pemerintah dan masyarakat
aceh…? Presiden ingin melepas tangan dihadapan para duta dan organisasi
internasional tersebut ataupun hanya basi-basi darinya…?
Lantas…! apa hukum masyarakat Aceh dan para intelektual terhadap Pilkada ini?
Ketika kepercayaan masyarakat dan para intelektual sudah dikhianati,
maka tidak ada yang bisa melarang masyarakat untuk berpaling kepada
siapa saja yang dianggap baik, walau mereka hanya bisa mengunci mulut
mereka, mereka tidak bisa berbicara, bersuara. bisukah mereka…? Atau
mereka tidak memahami akan Pilkada…?, mereka tidaklah bisu, akan tetapi
dibelakang ada kematian yang mengancam. Mereka hanya mampu membuat
harapan dan keinginan yang terbaik untuk aceh, walau kepercayaan mereka
telah sirna, hanya hati mereka yang berkata ” na droe ieh ngen tuhan,
peu yang ka ie peubut, ie pubut ju ” (mereka akan mempertanggung
jawabkan apa yang mereka lakukan di depan tuhan).
Inikah konflik dalam perdamaian…? Inikah Aceh yang telah melahirkan
para ulama penyebar Islam di penjuru Nusantara?, inikah Aceh yang
terkenal dengan orang di dalamnya yang shaleh, taat beribadah, tempat
pemimpin yang adil seperti Teuku Umar ? Sebagai warga aceh, harus
menginstrospeksi diri terhadap apa yang terjadi selama ini di sekitar
kita.
Apa yang akan terjadi jika aceh merdeka…?
Aceh bukanlah Iran yang di takuti Negara barat, Aceh bukanlah
Singapura, Negara mungil yang canggih, Aceh juga bukan Malaysia yang
ekonomi nya baik, akan tetapi Aceh hanyalah sebuah provinsi terletak di
pulau Sumatra dengan luas daratan 58 juta km2. Menjadi sebuah Negara
merdeka yang berdaulat bukanlah hal mustahil bagi Aceh, tapi orang Aceh
tetaplah orang Aceh yang berwatak keras, pantang mau disaingi, walau
masih dalam tahap kewajaran tanpa harus melanggar hukum Allah, tapi itu
Aceh yang dulu, Aceh masa Sultan Iskandar Muda, Aceh masa Teuku Umar, ,
tidak dengan orang Aceh sekarang, sudah merasa berjasa, yang dilakukan
hanyalah sebesar biji jagung jika di bandingkan dengan mereka-mereka
dulu, hanya layak kita ucapkan untuk orang yang merasa berjasa saat ini
adalah ,” tupee gok-gok bak u”, sebenarnya yang membuat kelapa bergoyang
adalah badai, kemudian setelah badai turunlah tupai. Begitulah orang
aceh sekarang, jasa orang aceh dulu di jadikan background tanda jasa
terhadap umat dan Negara.
Pernahkah terlintas di benak anda apa yang akan terjadi jika Aceh
merdeka, apakah Aceh akan menjadi Iran kedua, atau Singapura, ataupun
Malaysia, pasti kita masyarakat menginginkan lebih hebat dari mereka.
Tapi perlu kita ketahui, menjadi sebuah Negara bukanlah semudah
membalikkan telapak tangan, terhindar dari musuh, bisa berbuat sesuka
kita, akan tetapi suatu tanggung jawab besar. Sedangkan kita menjadi
sebuah provinsi otonom saja tidak mampu memakmurkan rakyat, bahkan
sebaliknya saling meneror sesama, yang besar menekan yang kecil, saling
memusuhi, Korupsi, Nepotisme kita budayakan, sungguh sangat ironis jika
ini yang terjadi di Aceh.
Memberikan wewenang bagi provinsi untuk membuat partai lokal bukanlah
hal yang sepele bagi sebuah Negara, ini merupakan hal yang besar dengan
pertimbangan matang. Pernahkah bertanya pada diri anda bangsa Aceh
kenapa pemerintah Indonesia memberikan Pilkada Aceh di ikuti oleh partai
lokal. Hemat saya mereka hanya ingin menguji kita, kemudian
menertawakan kita, karena melihat kita tidak mampu untuk bersatu hanya
karna masalah tamak akan kekuasaan bahkan munkin lebih dari itu mereka
ingin mengerogoti kita dari dalam dengan kekuasaan. Malah sebaliknya
kita terus saling mengadu domba antar sesama demi mendapatkan sebuah
kursi dalam Pilkada, Bukan saling bahu membahu demi membangun
kemaslahatan Aceh.
Belajar dari apa yang terjadi di Pilkada ini, jangankan untuk menjadi
sebuah Negara seperti Iran, Singapura, atau Malaysia, menjadi negara
seperti Timor Timur dengan ekonomi morat-marit tak akan mampu, bahkan
lebih buruk dari mereka.
Harapan …
Kita tidak menginginkan kecuali kebaikan, harapan
masyarakat adalah keadilan dalam Pilkada ini tidak ada yang namanya
kecurangan, semoga Pilkada Aceh berjalan sebagaimana yang di inginkan,
adil dan aman demi kesuksesan pemimpin yang di ridhai Allah serta bisa
berlaku bijak layaknya Khulafaur Rasyidin. Amien.
EmoticonEmoticon