Akhwat Primadona 4, Akhir Dari Sebuah Asa

Google image



" Aliefurrahman dengan predikat jayyid jiddan... bagi yang bersangkutan silahkan maju ke depan untuk di wisuda...". Suara bapak moderator yang di ikuti tepuk tangan bergemuruh dari sahabat-sahabatku.

Aku maju kehadapan bapak Dubes dan para dosen favorit mahasiswa yang hadir, mereka mengucapkan selamat atas kelulusanku walau bukan dengan prediket terbaik.
Setelah mendapatkan ucapan selamat dan ijazah aku lansung menuju keluar hendak kembali ke kontrakan, aku tidak mau berlama-lama di ruang wisuda takut air mataku akan tumpah jika harus melihat Tata bersama seorang ikhwan yang tidak lain adalah sahabat karibku. Aku memutuskan untuk lansung pulang dan istirahat setelah seharian mengikuti acara wisuda.

Waktu ku dikairo tinggal menghitung hari, tiket pesawat sudah aku booking, hanya perlu sedikit berbelanja hadiah buat keluarga dan para sahabat di kampungku. Aku sempat kebingungan saat ingin membeli jilbab buat kakak ku, bagaimana kesukaannya, bentuk yang cocok, modelnya bagaimana, ingin rasanya menelpon Tata menanyakan sedikit tentang jilbab, dan meminta dia membantuku belanja. Tapi ku urungkan niatku, dia sudah bersama sahabatku, walau mereka belum tunangan atau bahkan mereka juga tidak pacaran, rasa cemburu pasti ada di hati sahabatku jika aku meminta Tata membelikan jilbab buat kakakku.
Hanya ada satu pilihan selain Tata, kakak tempat curhatnya Tata, aku meminta kakak itu membelikan beberapa helai selendang buat kakakku, kemudian memberitahu kalau aku akan pulang seminggu lagi dan meminta dia agar tidak memberitahukan Tata.

"kepada para penumpang diharapkan untuk memakai sabuk pengaman karena sebentar lagi kita akan take-off dari bandara Kairo ". Suara pramugari mengingatkan para penumpang.

Aku membaca do'a safar yang dulu pernah aku hafal di Pesantren Nurul Mujahidin dan memejamkan mata berharap perjalananku selamat sampai tujuan.

Saat sampai di bandara Sulthan Iskandar Muda kulihat segerombolan orang mendekatiku, ternyata mereka sahabat-sahabat ku yang seangkatan denganku di Pesantren Nurul Mujahidin. Seluruh keluargaku juga ikut datang menjemputku di bandara.
Aku pulang ke desa dimana aku dilahirkan, masih terasa kesejukan akan hawa pegunungan. Aku bersyukur masih bisa menghirup udara yang jauh dari berbagai polusi yang disebabkan oleh industri dan kendaraan bermotor.

Setahun sudah aku lalui hari-hariku di desa, jauh dari hiruk pikuk keramaian, aku bagai ditelan bumi tanpa ada kabar ke kawan-kawanku yang ada di Kairo.
Suatu hari, saat keluagaku sedang berkumpul setelah menikmati hidangan malam, ibuku berucap :

" Dek alief...! Kakak dan abang kamu tu dah pada punya momongan semua, kapan kamu pingin mengikuti jejak mereka...?". Tanya ibuku dengan tersenyum. " hehehe ".

Aku tertawa kecil. Ingin sekali rasanya tertawa terbahak-bahak akan pertanyaan ibuku saat ini. Aku masih berpikiran kanak-kanak walau umurku sudah memasuki kepala dua setengah alias 25 tahun, maklum aku kan anak bungsu.

" Nak alief... Kamu itu sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Umur ayah sudah lanjut, ayah juga berharap bisa menggendong cucu dari anak bungsu kesayangan ayah. Ayah mau Alief sudah mempersiapkan seorang gadis buat kita lamar...". Lanjut ayahku.

" Ayah... Alief belum ada calon, lagian kan alief baru 25 tahun, kerja juga masih belum tetap, masih ngajar-ngajar sana sini... ". Sanggah ku.

" Alief... Kamu itu penuntut ilmu agama, jadi menikahlah supaya orang bisa mencontoh dari kamu, agar mereka cepat nikah dan generasi Islam terselamatkan..." . Ayahku mencoba mengingatkan ku.

" Iya ayah, bulan depan Insyaallah ana sudah dapat calonnya, kalau memang belum ada calonnya, ayah yang nentuin aja, siapa saja pilihan ayah dan mamak Alief terima kok...". Lanjutku.

Ayah dan ibuku serempak bertahmid. " Alhamdulillah... ".

" Itu yang ayah harapkan dari anak ayah, dan jangan lupa nak, kalau mencari istri yang sepadan dengan kita ya, cari yang sederhana, dan murah senyum. Kita juga gak sanggup kalau maharnya tinggi, pilih yang maharnya tidak tinggi dan tidak rendah, Insyaallah akan perfect dan bahagia...". Ayahku kembali menasehatiku.
Masa sebulan yang aku janjikan dengan ibu dan ayahku berakhir.
" Dek alief... Kapan bisa kita lamar calon menantu ayah...? ". Ayahku bertanya suatu malam.
" Maafkan Alief yah, Alief belum menemukan jodoh, alief belum bisa memilih yah...! Ayah yang cariin aja buat alief ya...". Pintaku.
" Baiklah nak... Besok kita kerumah calon menantu pilihan ayah, pastikan kamu jam 9 pagi ada dirumah...". Lanjut ayahku.

" Insyaallah ayah...". Jawabku seraya mengangguk.

Esok harinya.

" Nak Alief ayoo berangkat...!". Ajak ayahku.

" iya ayah...". Lansung saja aku duduk di boncengan ayah.
Aku merasakan saat ini seperti masa kecil, duduk dibelakang ayah, diantarin kesekolah, pergi keacara pesta, moment yang sangat indah bersama ayah.
Tidak ada suara yang keluar dari mulut ayahku, suasana terasa hening beberapa saat.

" Ayah...! Kira-kira Alief diterima sama ayah cewek itu...? Dan cewek itu setuju nggak Alief jadi suaminya...? ". Aku bertanya pada ayahku menghentikan keheningan.

" Insyaallah semua beres... Serahkan pada Allah segalanya...". Ucap ayahku.

" Iya ayah...". Aku hanya pasrah.

" Alief...! Ayah yakin kamu akan terkejut siapa calon pilihan ayah, kamu sangat mengenal dia, orang tua dia juga sangat mengenalmu, ayah yakin kalian akan cocok...". Ujar ayahku.

Aku jadi kebingungan dengan kata-kata ayahku, aku hanya berharap pilihan ayah bukanlah seorang cewek yang gemuk, takut rasanya karena tubuhku kan kecil, mana sanggup aku gendong dia kalau ntar dia sakit.

" Sudah sampai Alief...". Kata ayahku.

Beliau memarkir sepeda motor pas di depan rumah yang aku kunjungi, betapa terkejutnya aku saat mengetahui ternyata ini adalah rumahnya ibuk Husna, ibuk guruku waktu di madrasah ibtidaiyah dulu. Memang sejak kecil aku sudah dekat dengan ibuk Husna karena mamak ku sering berkunjung kerumahnya, aku juga dekat dengan anaknya yang umurnya tiga tahun lebih muda dariku, kami sering bermain berdua saat Ibuk Husna mengajak dia kesekolah.

Kami di persilahkan masuk oleh ibuk husna. Aku hanya bisa senyum nyengir di depan beliau tidak tau harus berbicara apa.

" Ayahnya Liza kemana buk...?". Tanya ayahku.

" lagi ganti baju, sebentar lagi juga kesini...". Jawab ibuk husna.
Beberapa saat kemudian muncul lah ayahnya Liza. Ayahku dan ayah husna mengobrol panjang lebar seolah mereka sudah lama tidak jumpa.

" Jadi begini pak Hikmat, ibuk Husna dan istri saya kan sudah lama kenal, mereka pernah membicarakan masalah anak kita, masalah Liza dan Alief, apa ibuk Husna pernah membicarakan ini sama bapak...? " ayahku memulai inti pembicaran dan tujuan kedatangan nya hari ini.

" Kalau masalah itu saya dan ibunya Liza sangat setuju, Liza juga setuju dengan pilihan kami, sekarang terserah pada Alief, apakah dia mau menerima anak kami...?" jawab ayahnya liza.

" Lizaaa...! Kemarilah nak...". Ibuk Husna beranjak memanggil Liza.
Liza tampak anggun dan cantik sekali saat keluar mambawa nampan berisi cangkir minuman buat kami, kemudian dia kembali lagi kekamarnya.
" Bagaimana Alief...? Kamu setuju...?". Tanya ayahku.
" Kalau ayah dan keluarga Liza sudah setuju, ana setuju ayah...". Jawabku kikuk setelah ketahuan menatap Liza lama-lama.
" Alhamdulillah...". Serempak ayahku dan ayah Liza bertahmid.
Setelah ayahku dan ayah Liza bermusyawarah, mereka memutuskan akan melaksanakan akad nikah kami hari senin depan. Ayahku pamit pulang setelah misinya hari ini complete. Aku melihat kebahagiaan terpancar di Wajah ayahku.

Aku memberitahu kabar akan hari akad nikahku kepada sahabat-sahabatku, tak terkecuali yang di Kairo. Tiga hari sebelum hari akad nikahku berlansung, aku mendapat telphon dari Tata.

" Alief...! Selamat ya dah mau nikah, kemana aja selama ni..? Kok gak kabarin ana kalau anta mau nikah...?". Suara Tata diseberang sana.

" Alhamdulillah Tata, maaf ya ana belum sempat kabarin buat anti,...". Jawabku.

Aku mendengar samar-samar suara isak di ujung sana.

" Tata lagi nangis, Tata kenapa...?". Tanyaku kebingungan.

" Alief...! anta tanya kenpa lagi… bisa ya anta pendam rasa sama ana, kenapa mesti anta ungkapkan sama kak Zahra, kenapa bukan ke ana lansung, kenapa Alief gak mencoba melamar ana, ana menunggu Alief selama ni, ana mencintaimu lief... Hiks..". Tata menghujaniku dengan pertanyaan sekaligus ungkapan hatinya.

 " Maafkan ana Tata, ana nggak berani mencintai anti, anti begitu baik,sholehah, mahasiswi favorit, ana serba salah, anti keluarga kaya, sedangkan ana keluarga biasa. Apa kata orang tua anti jika ana harus lamar anti, dan anti juga pernah mengatakan pada kak Zahra kalau mencintai orang lain dan itu sahabat ana, sejak saat itu ana berhenti berharap pada anti...". Jelasku panjang lebar.

" Ana tau... Ana pernah bilang itu pada kak Zahra, tapi itu hanya curahan hati ana, dan ana gak pernah bilang siapa sama dia, cuma dia menebak kalau itu anta, ana bilang bukan karena ana malu ntar disorakin..". Balasnya dengan isak tangis.

" Maafkan ana Tata, saat ini kita tidak munkin bersama walau rasa cinta antara kita masih ada, ana mau nikah tiga hari lagi, ana akan mencintai istri ana kelak dan seiring berjalan waktu cinta yang ana simpan buat anti akan hilang, begitu juga dengan anti, cinta yang anti simpan buat ana akan tergantikan dengan cinta suami anti, kita tidak ditakdirkan bersama Tata. Cintailah suamimu sepenuh hati nantinya saat engkau sudah menikah ". Jelasku panjang lebar.

" Semoga anta bahagia ya lief... Amieen.". Lanjut tata singkat.

" amieeen... Anti juga... Assalamu'alaikum ". Aku mengakhiri pembicaraan kami.

Aku merasa langit runtuh menimpa diriku, cintaku 5 tahun yang lalu datang kembali. Ingin rasanya aku menangis saat berbicara dengan Tata tadi, cintaku yang paling dalam itu datang tapi aku tidak berdaya.

" Lupakan dia alief, dia diciptakan bukan untukmu, kamu sudah menkhitbah anak orang dan akan menikah 3 hari lagi, ingaat itu...". Aku berusaha menepis pikiranku yang gak karuan. Hari kebahagianku tiba, hari dimana aku berjanji di depan Allah dan Rasulnya beserta para hadirin akan menbina rumah tangga yang islami serta akan melahirkan para mujahid-mujahid islam kelak.

" cinta tidak harus memiliki, tapi milikilah cinta agar engkau memiliki segala-galanya".



Share this

Related Posts

Previous
Next Post »