Google image |
" Aliefurrahman dengan predikat jayyid
jiddan... bagi yang bersangkutan silahkan maju ke depan untuk di
wisuda...". Suara bapak moderator yang di ikuti tepuk tangan bergemuruh
dari sahabat-sahabatku.
Aku maju kehadapan bapak Dubes dan para dosen
favorit mahasiswa yang hadir, mereka mengucapkan selamat atas kelulusanku walau
bukan dengan prediket terbaik.
Setelah mendapatkan ucapan selamat dan ijazah
aku lansung menuju keluar hendak kembali ke kontrakan, aku tidak mau berlama-lama
di ruang wisuda takut air mataku akan tumpah jika harus melihat Tata bersama
seorang ikhwan yang tidak lain adalah sahabat karibku. Aku memutuskan untuk
lansung pulang dan istirahat setelah seharian mengikuti acara wisuda.
Waktu ku dikairo tinggal menghitung hari, tiket
pesawat sudah aku booking, hanya perlu sedikit berbelanja hadiah buat keluarga
dan para sahabat di kampungku. Aku sempat kebingungan saat ingin membeli jilbab
buat kakak ku, bagaimana kesukaannya, bentuk yang cocok, modelnya bagaimana,
ingin rasanya menelpon Tata menanyakan sedikit tentang jilbab, dan meminta dia
membantuku belanja. Tapi ku urungkan niatku, dia sudah bersama sahabatku, walau
mereka belum tunangan atau bahkan mereka juga tidak pacaran, rasa cemburu pasti
ada di hati sahabatku jika aku meminta Tata membelikan jilbab buat kakakku.
Hanya ada satu pilihan selain Tata, kakak
tempat curhatnya Tata, aku meminta kakak itu membelikan beberapa helai
selendang buat kakakku, kemudian memberitahu kalau aku akan pulang seminggu
lagi dan meminta dia agar tidak memberitahukan Tata.
"kepada para penumpang diharapkan untuk
memakai sabuk pengaman karena sebentar lagi kita akan take-off dari bandara Kairo
". Suara pramugari mengingatkan para penumpang.
Aku membaca do'a safar yang dulu pernah aku
hafal di Pesantren Nurul Mujahidin dan memejamkan mata berharap perjalananku
selamat sampai tujuan.
Saat sampai di bandara Sulthan Iskandar Muda
kulihat segerombolan orang mendekatiku, ternyata mereka sahabat-sahabat ku yang
seangkatan denganku di Pesantren Nurul Mujahidin. Seluruh keluargaku juga ikut
datang menjemputku di bandara.
Aku pulang ke desa dimana aku dilahirkan, masih
terasa kesejukan akan hawa pegunungan. Aku bersyukur masih bisa menghirup udara
yang jauh dari berbagai polusi yang disebabkan oleh industri dan kendaraan
bermotor.
Setahun sudah aku lalui hari-hariku di desa,
jauh dari hiruk pikuk keramaian, aku bagai ditelan bumi tanpa ada kabar ke
kawan-kawanku yang ada di Kairo.
Suatu hari, saat keluagaku sedang berkumpul
setelah menikmati hidangan malam, ibuku berucap :
" Dek alief...! Kakak dan abang kamu tu
dah pada punya momongan semua, kapan kamu pingin mengikuti jejak
mereka...?". Tanya ibuku dengan tersenyum. " hehehe ".
Aku tertawa kecil. Ingin sekali rasanya tertawa
terbahak-bahak akan pertanyaan ibuku saat ini. Aku masih berpikiran kanak-kanak
walau umurku sudah memasuki kepala dua setengah alias 25 tahun, maklum aku kan
anak bungsu.
" Nak alief... Kamu itu sudah besar, sudah
bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Umur ayah sudah lanjut,
ayah juga berharap bisa menggendong cucu dari anak bungsu kesayangan ayah. Ayah
mau Alief sudah mempersiapkan seorang gadis buat kita lamar...". Lanjut
ayahku.
" Ayah... Alief
belum ada calon, lagian kan alief baru 25 tahun, kerja juga masih belum tetap,
masih ngajar-ngajar sana sini... ". Sanggah ku.
" Alief... Kamu itu
penuntut ilmu agama, jadi menikahlah supaya orang bisa mencontoh dari kamu,
agar mereka cepat nikah dan generasi Islam terselamatkan..." . Ayahku
mencoba mengingatkan ku.
" Iya ayah, bulan
depan Insyaallah ana sudah dapat calonnya, kalau memang belum ada calonnya,
ayah yang nentuin aja, siapa saja pilihan ayah dan mamak Alief terima
kok...". Lanjutku.
Ayah dan ibuku serempak
bertahmid. " Alhamdulillah... ".
" Itu yang ayah
harapkan dari anak ayah, dan jangan lupa nak, kalau mencari istri yang sepadan
dengan kita ya, cari yang sederhana, dan murah senyum. Kita juga gak sanggup
kalau maharnya tinggi, pilih yang maharnya tidak tinggi dan tidak rendah,
Insyaallah akan perfect dan bahagia...". Ayahku kembali menasehatiku.
Masa sebulan yang aku janjikan dengan ibu dan ayahku berakhir.
" Dek alief... Kapan bisa kita lamar calon menantu ayah...?
". Ayahku bertanya suatu malam.
" Maafkan Alief yah, Alief belum menemukan jodoh, alief
belum bisa memilih yah...! Ayah yang cariin aja buat alief ya...". Pintaku.
" Baiklah nak... Besok kita kerumah calon menantu pilihan
ayah, pastikan kamu jam 9 pagi ada dirumah...". Lanjut ayahku.
" Insyaallah ayah...". Jawabku seraya
mengangguk.
Esok harinya.
" Nak Alief ayoo berangkat...!". Ajak
ayahku.
" iya ayah...". Lansung saja aku
duduk di boncengan ayah.
Aku merasakan saat ini seperti masa kecil,
duduk dibelakang ayah, diantarin kesekolah, pergi keacara pesta, moment yang
sangat indah bersama ayah.
Tidak ada suara yang keluar dari mulut ayahku,
suasana terasa hening beberapa saat.
" Ayah...! Kira-kira Alief diterima sama
ayah cewek itu...? Dan cewek itu setuju nggak Alief jadi suaminya...? ".
Aku bertanya pada ayahku menghentikan keheningan.
" Insyaallah semua beres... Serahkan pada
Allah segalanya...". Ucap ayahku.
" Iya ayah...". Aku hanya pasrah.
" Alief...! Ayah yakin kamu akan terkejut
siapa calon pilihan ayah, kamu sangat mengenal dia, orang tua dia juga sangat
mengenalmu, ayah yakin kalian akan cocok...". Ujar ayahku.
Aku jadi kebingungan dengan kata-kata ayahku,
aku hanya berharap pilihan ayah bukanlah seorang cewek yang gemuk, takut
rasanya karena tubuhku kan kecil, mana sanggup aku gendong dia kalau ntar dia
sakit.
" Sudah sampai Alief...". Kata
ayahku.
Beliau memarkir sepeda motor pas di depan rumah
yang aku kunjungi, betapa terkejutnya aku saat mengetahui ternyata ini adalah
rumahnya ibuk Husna, ibuk guruku waktu di madrasah ibtidaiyah dulu. Memang
sejak kecil aku sudah dekat dengan ibuk Husna karena mamak ku sering berkunjung
kerumahnya, aku juga dekat dengan anaknya yang umurnya tiga tahun lebih muda
dariku, kami sering bermain berdua saat Ibuk Husna mengajak dia kesekolah.
Kami di persilahkan masuk
oleh ibuk husna. Aku hanya bisa senyum nyengir di depan beliau tidak tau harus
berbicara apa.
" Ayahnya Liza
kemana buk...?". Tanya ayahku.
" lagi ganti baju,
sebentar lagi juga kesini...". Jawab ibuk husna.
Beberapa saat kemudian muncul lah ayahnya Liza. Ayahku dan ayah
husna mengobrol panjang lebar seolah mereka sudah lama tidak jumpa.
" Jadi begini pak Hikmat, ibuk Husna dan istri saya kan
sudah lama kenal, mereka pernah membicarakan masalah anak kita, masalah Liza
dan Alief, apa ibuk Husna pernah membicarakan ini sama bapak...? " ayahku
memulai inti pembicaran dan tujuan kedatangan nya hari ini.
" Kalau masalah itu saya dan ibunya Liza sangat setuju, Liza
juga setuju dengan pilihan kami, sekarang terserah pada Alief, apakah dia mau
menerima anak kami...?" jawab ayahnya liza.
" Lizaaa...! Kemarilah nak...". Ibuk Husna beranjak
memanggil Liza.
Liza tampak anggun dan cantik sekali saat keluar mambawa nampan
berisi cangkir minuman buat kami, kemudian dia kembali lagi kekamarnya.
" Bagaimana Alief...? Kamu setuju...?". Tanya ayahku.
" Kalau ayah dan keluarga Liza sudah setuju, ana setuju
ayah...". Jawabku kikuk setelah ketahuan menatap Liza lama-lama.
" Alhamdulillah...". Serempak ayahku dan ayah Liza
bertahmid.
Setelah ayahku dan ayah Liza bermusyawarah, mereka memutuskan
akan melaksanakan akad nikah kami hari senin depan. Ayahku pamit pulang setelah
misinya hari ini complete. Aku melihat kebahagiaan terpancar di Wajah ayahku.
Aku memberitahu kabar akan hari akad nikahku
kepada sahabat-sahabatku, tak terkecuali yang di Kairo. Tiga hari sebelum hari
akad nikahku berlansung, aku mendapat telphon dari Tata.
" Alief...! Selamat ya dah mau nikah,
kemana aja selama ni..? Kok gak kabarin ana kalau anta mau nikah...?".
Suara Tata diseberang sana.
" Alhamdulillah Tata, maaf ya ana belum
sempat kabarin buat anti,...". Jawabku.
Aku mendengar samar-samar suara isak di ujung
sana.
" Tata lagi nangis, Tata kenapa...?".
Tanyaku kebingungan.
" Alief...! anta tanya kenpa lagi… bisa ya
anta pendam rasa sama ana, kenapa mesti anta ungkapkan sama kak Zahra, kenapa
bukan ke ana lansung, kenapa Alief gak mencoba melamar ana, ana menunggu Alief
selama ni, ana mencintaimu lief... Hiks..". Tata menghujaniku dengan
pertanyaan sekaligus ungkapan hatinya.
"
Maafkan ana Tata, ana nggak berani mencintai anti, anti begitu baik,sholehah,
mahasiswi favorit, ana serba salah, anti keluarga kaya, sedangkan ana keluarga
biasa. Apa kata orang tua anti jika ana harus lamar anti, dan anti juga pernah
mengatakan pada kak Zahra kalau mencintai orang lain dan itu sahabat ana, sejak
saat itu ana berhenti berharap pada anti...". Jelasku panjang lebar.
" Ana tau... Ana pernah bilang itu pada
kak Zahra, tapi itu hanya curahan hati ana, dan ana gak pernah bilang siapa
sama dia, cuma dia menebak kalau itu anta, ana bilang bukan karena ana malu
ntar disorakin..". Balasnya dengan isak tangis.
" Maafkan ana Tata, saat ini kita tidak
munkin bersama walau rasa cinta antara kita masih ada, ana mau nikah tiga hari
lagi, ana akan mencintai istri ana kelak dan seiring berjalan waktu cinta yang
ana simpan buat anti akan hilang, begitu juga dengan anti, cinta yang anti
simpan buat ana akan tergantikan dengan cinta suami anti, kita tidak
ditakdirkan bersama Tata. Cintailah suamimu sepenuh hati nantinya saat engkau
sudah menikah ". Jelasku panjang lebar.
" Semoga anta
bahagia ya lief... Amieen.". Lanjut tata singkat.
" amieeen... Anti
juga... Assalamu'alaikum ". Aku mengakhiri pembicaraan kami.
Aku merasa langit runtuh
menimpa diriku, cintaku 5 tahun yang lalu datang kembali. Ingin rasanya aku
menangis saat berbicara dengan Tata tadi, cintaku yang paling dalam itu datang
tapi aku tidak berdaya.
" Lupakan dia alief,
dia diciptakan bukan untukmu, kamu sudah menkhitbah anak orang dan akan menikah
3 hari lagi, ingaat itu...". Aku berusaha menepis pikiranku yang gak
karuan. Hari kebahagianku tiba, hari dimana aku berjanji di depan Allah dan
Rasulnya beserta para hadirin akan menbina rumah tangga yang islami serta akan
melahirkan para mujahid-mujahid islam kelak.
" cinta tidak harus memiliki, tapi milikilah cinta agar
engkau memiliki segala-galanya".
EmoticonEmoticon