Google image |
Aku memperhatikan sekitarku, laki-laki dengan umur berbeda-beda dengan keadaan masing-masing yang jarang terekam dalam pandangan orang biasa terpampang di mataku. sebagian kesakitan akibat tongkat viber tentara yang mengenainya dalam aksi massa, sebagiannya lagi kesakitan karena umurnya sudah lanjut yang kebanyakan dari mereka berasal dari jama’ah masjid dekat alun-alun abbasiah tempat terjadinya bentrokan massa dengan polisi dalam demontrasi. aku adalah pemilik nama Aliefur rahman mahasiswa strata satu di universitas Al azhar yang menjadikan masjid abbasiah sebagai tempat mudzakarah[1] untuk mempersiapkan ujianku yang terdekat, kini aku ditangkap bersama para jama’ah lainnya.
“banguuun…
semuanya menuju ke truk dekat gerbang itu” teriak seorang tentara yang
kutaksir masih berpangkat kopral.
Kami semua diarah
agar menaiki truk tersebut, truk yang dirancang khusus untuk antar jemput
tentara dan narapida itu hanya memiliki ventilasi udara yang sangat kecil. Sesaat
suasana terasa sunyi, ketika truk bergerak mulailah suasana jadi gaduh. Aku tidak tau apa-apa bertanya pada
seorang yang kebetulan duduk di dekatku :
"hendak di bawa kemanakah kita
wahai saudaraku...?"
"sebenarnya keadaan seperti ini
tidak perlu ditanyakan lagi hendak kemana kita, karena kamu adalah warga asing
jadi wajar saja jika kamu bertanya, kita menuju kepenjara adikku..." jawab lelaki tersebut dengan tenang.
Tak terasa ada sebutir mutiara
mengalir dikelopak bawah mataku, segala persoalan yang ada padaku mengalir
deras di setiap jaringan di otakku, ujian awal semester di Al Azhar, diktat
kuliah yang belum aku kuasai, tambah lagi memori akan keluargaku ditanah air,
'Ibuku yang selalu mengkhawatirkanku dikala bepergian dan selalu ingin brada di
dekat ku, ayahku yang selalu menemani kemana saja aku pergi dan tidak bisa
kalau tidak ada kabar dariku, kakak ku yang selalu perhatian lebih padaku
karena aku adik paling kecil, dua abangku yang selalu melindungiku, dan
menjagaku kemana saja aku pergi, kebaikan mereka membuat hatiku tambah sakit,
membuat air mataku mengalir bak air bah. saat membayangkan bagaimana rasanya kehilangan
orang yang mereka over protectif dari pandangan mata.
Dalam hati aku berkata : “akankah
ini akhir dari cerita seorang anak laki-laki yang bernama alief...?. bayangan
penjara yang akan aku huni bagai neraka, ditambah lagi dengan gambaran
mengerikan dari novel-nevel, serasa hidupku sudah berakhir saja”.
setiap orang dalam truk itu saling
berkenalan dan bertukar alamat.
"siapa yang berasal dari
giza...?"
teriak seorang anak yang aku taksir umurnya sekitar 18 tahun. Beberapa orang
mengankat tangannya.
"saya di st.zaukak el kharat, building
34. Flat 3, giza". Salah seorang dari mereka menyebut alamatnya dengan lengkap.
"saya di st. El-shaheed gamal
el-deen Afify, apotik nagmah." jawab seorang bapak yang dari tadi kelihatan gelisah, kalau
dilihat dari perawakannya dia lebih mirip orang yang ikut ajang smack-down, "tapi
kok apotik alamatnya ya..?" ucapku lirih. Singkat cerita ternyata
bapak itu adalah seorang dokter yang masa mudanya sering dihabiskan untuk
olahraga di gymes.
Riuh di dalam truk yang membawa kami
belum reda, masih terdengar dari sebagian mereka saling bersahutan
memperkenalkan diri dan menyebutkan alamat masing-masing. "Manshurah..,
Zaqaziq..., Shubra..." begitulah seterusnya.
Sesaat hampir saja aku lupa akan
orang disampingku tadi. Dia terlihat tenang-tenang saja duduknya. “kayak pergi
ke rihlah[2]
aja orang ini”. Ucapku dalam hati.
"saudaraku, dari kota mana
dirimu berasal...?" aku mencoba berbasa-basi dengan dia sekedar melupakan keadaan kritisku
saat itu.
"saya dari Manshurah dek, kalau
kamu dari negara mana...?" jawab lelaki tersebut dengan balik bertanya.
"saya dari Indonesia,tepatnya di
Aceh pulau sumatra..." jawabku dengan sedikit penjelasan. Setalah panjang lebar kami
berbasa-basi, kuketahui ternyata lelaki itu bernama Islam.
"akhi Islam...kok antum dari
tadi santai-santai saja, padahal orang-orang pada sibuk dan ketakutan, saya aja
hampir nangis..." tanyaku selidik.
Aku melihat dia tersenyum, sesaat
rasa kekhawatiranku hilang. Kemudian dia berucap:
"kamu seorang mahasiswa, sudah
pasti pernah mendengar nama syekh Sayyid Qutb, syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan
Buya Hamka ulama indonesia."
“iya aku mahasiswa Al Azhar”. Jawabku.
"syekh Sayyid Qutb mengahsilkan
tafsirnya Fi Zilalil Qur'an dalam penjara, begitu juga dengan Buya Hamka yang
berhasil menyihir dunia dengan tafsir Al-Azhar miliknya, syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah, tidak ada kata yang sampai untuk memuji beliau, seorang ulama yang
sangat berpengaruh, dan mereka bertiga pernah beada didalam penjara."
Aku hanya mengiyakan setiap kata yang
keluar dari bibir dia, kulihat ada rasa ikhlas dan semangat di setiap gerak
lidahnya.
"yang mebuat aku tenang saat ini
bukan karena aku ingin menyamakan diri yang hina ini dengan mereka para ulama
yang sangat mulia, akan tetapi nasehat dari syeikhul islam Ibnu Taimiyah lah
yang membuat ku tenang. Beliau berkata : 'maaza fa'ala bi a'daa'i, in qataluuni fa qatli
syahadah, wa in sajanuu ni fa sijni ibadah' (apa yang bisa diperbuat
musuh-musuhku terhadapku, jika mereka membunuhku maka kematianku adalah sebuah
kesyahidan, jika mereka memenjarakanku maka akan kujadikan penjara sebagai
tempat ibadah bagiku), itulah nasehat dari beliau adekku...". Dia
mengakhiri kata-katanya dengan kutipan nasehat dari seorang ulama besar
sekaligus menjawab akan keheranan ku dari pembawaan dia yang tenang.
Aku hanya bisa mengangguk tanda mengerti
dari setiap kata-kata dia. Sejenak aku berpikir : "kenapa manusia itu
begitu bengis, egois,sombong, bahkan disaat kesusahan saja masih bisa melupakan
Allah,Tuhan penciptanya, apalagi disaat dia dalam berlimpahan harta..."
"Kenapa aku harus lupa akan
nasihat-nasihat para ulama agar selalu bertawakkal disetiap masalah yang kita
hadapi, meminta perlindungan kepada Allah. Malu rasanya diri ini, pada saat
tidak ada pertolongan selain dari Allah harus melupakan Allah, ampunilah aku
akan segala kekhilafan ini ya Allah..." aku mengutuk diriku sendiri atas kelalaian ku saat
itu.
Kini setiap rentetan nasehat dan
petuah yang pernah aku dengar dari para alim ulama dan yang pernah ku baca
seolah-olah mengilhami setiap centi dari saraf-sarafku bagaikan taman bunga
mendapatkan siraman air di tengah teriknya matahari.
Hikmah dan ilmu Allah itu hanyalah
titipan, kita bisa melihat ilmu itu bermamfaat saat kita dalam kesusahan, atau
dalam keadaan genting apakah kita menggunakannya atau tidak, jika iya
bersyukurlah, jika tidak maka berusahalah selalu memperbaiki diri. Ibuku selalu
menasehatiku agar jangan lupa selalu menjadikan Allah sebagai sandaran dan
mengucapkan "laailaaha illallahu
malikul haqqul mubin" dalam keadaan apapun.
Kini aku mengerti kenapa para Rasul
Allah dan para ulama itu begitu tenang dalam setiap keadaan karena mereka
mengetahui akan masa berlaku tawakkal, yaitu setelah kita memaksimalkan setiap
usaha yang kita buat. waallahua'lam
EmoticonEmoticon